Jakarta, Katinting.com – Sidang permohonan uji materiil UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) di Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 37/PUU-XIX/2021 kembali dilanjutkan dengan mendengarkan saksi fakta yang diajukan oleh Pemohon. Rabu, 9 Maret 2022.
Dalam keteranan pers WALHI, menjelaskan, mencermati keterangan yang disampaikan oleh para saksi, semakin nyata bahwa UU No. 3 Tahun 2020 tidak memiliki keberpihakan pada masyarakat terdampak tambang.
Sentralisasi kewenangan dalam UU Minerba menjauhkan akses masyarakat daerah dari layanan publik dan pengaduan terkait pertambangan. Selain menjauhkan, UU Minerba justru menjadi keran arus pengkriminalan (alat melakukan proses hukum) masyarakat penolak tambang yang memperjuangkan ruang hidup mereka. UU Minerba ini sebagai alat membungkam suara masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya dan mempertahankan hak-haknya. Karena itu UU Minerba ini merupakan kemunduran.
UU Minerba, Pasal 4 ayat (2) dan (3) mengubah penyelenggaraan usaha pertambangan mineral dan batubara dari sebelumnya diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menjadi seluruhnya ke Pemerintah Pusat. Berdasarkan keterangan saksi fakta Ali Fahmi sentralisasi kewenangan tersebut telah nyata menjauhkan masyarakat terdampak dari akses pelayanan publik dan penyampaian aspirasi terkait kegiatan pertambangan di daerah.
“Sebelum ada UU Minerba, setiap ada permasalahan terkait Minerba, bisa dengan mudah diselesaikan di daerah khususnya terkait pencegahan bencana, setelah ada UU ini sangat susah karena sudah ditarik ke pusat. Pasca UU ini, pernah kejadian waktu kami melaporkan rencana pembukaan jalan untuk pertambangan di wilayah Gunung Meratus, mereka tidak berani melakukan tindakan apa-apa karena bukan kewenangan dan dianggap kewenangan pusat,” ujar Ali dalam persidangan Rabu, 9 Maret 2022.
Saksi Ali Fahmi adalah pensiunan PNS di Pemerintahan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tengah, Kalimantan Selatan, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
UU Minerba No. 3 Tahun 2020 juga mempertahankan “warisan buruk” dari UU No. 4 Tahun 2009 yang sudah lama digunakan untuk mengkriminalkan masyarakat penolak tambang. Pasal 162 mengatur ketentuan pidana bagi setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan tanpa menjelaskan apa yang dimaksud sebagai “merintangi atau mengganggu”. Penggunaan Pasal 162 yang karet tersebut menjadi sarana yang efektif untuk membungkam masyarakat.
Saksi fakta Anggi Maisya, nelayan dari Matras, Bangka Belitung mengungkapkan bahwa pada tahun 2020, dirinya bersama warga Matras menyampaikan hasil Rapat Dengar Pendapat Anggota Komisi IV Dedi Mulyadi dengan Bupati Bangka Belitung untuk menghentikan kegiatan pertambangan bijih timah kepada kapal penambang bijih timah. Namun penyampaian hasil RDP tersebut kemudian berujung pada pemanggilan oleh pihak kepolisian atas dasar Pasal 162 UU Minerba.
“Padahal kami disini sangat bergantung pada laut kami, mata pencaharian kami sebagai nelayan. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya Pasal 162. Jadi masyarakat kami bungkam, diam, takut mau menyampaikan aspirasi penolakan, kami tidak berani lagi karena takut dipidana.”
Selain para nelayan di Matras, Bangka Belitung, sejak UU Minerba resmi diberlakukan, tercatat ada puluhan warga negara Indonesia yang mengalami kriminalisasi saat mempertahankan tanahnya dari kerusakan yakni di Banyuwangi, Bangka, Wawonii, Kutai Kartanegara, Berau, Paser, Jomboran, Tasikmalaya, dan Bengkulu.
Saksi fakta lain, Abdullah Ibrahim Ritonga (Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu) dalam persidangan menerangkan bahwa Pasal 162 dalam UU Minerba menjadi alat untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang merugikan masyarakat terdampak. Keterangan saksi ini semakin
menegaskan bahwa keterangan DPR dan Presiden pada persidangan tanggal 8 November 2021 yang menyebut bahwa, “Pasal 162 digunakan untuk melindungi masyarakat dan mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara” merupakan dalih yang tak mencerminkan fakta.
Berdasarkan keterangan saksi fakta para Pemohon tersebut, Majelis Hakim seharusnya semakin disadarkan bahwa Pasal 162 tidak mengayomi masyarakat terdampak yang memperjuangkan hak dan aspirasinya, dengan demikian tujuan mencapai keadilan secara proporsional tidak tercapai. Karena itu sepatutnya hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Uji Materi yang diajukan para pemohon.
(Rls)