Jateng, Katinting.com – Ancaman konsiyansi yang dihadapi oleh warga Wadas, Purwerejo, Jawa Tengah, memantik Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) datang ke Wadas untuk menindaklanjuti laporan warga Wadas. Di Wadas, anggota Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing dan staf mendengarkan langsung keluhan warga dan meninjau lokasi rencana penambangan batu andesit yang sejak awal ditolak warga. Pertemuan dengan warga berlangsung di sebuah musholla di Dusun Gendol.
Seorang ibu rumah tangga, Susi, kepada rombongan komisioner Komnas HAM RI, mengungkapkan para ibu merasa gelisah, resah, dan takut karena ada ancaman konsinyasi yang mulai dikeluarkan Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo sebagai panitia pengadaan tanah sejak 17 April 2023.
“Kami selalu diintimidasi, besok kalau gak kasih berkas (tanah), akan dikonsinyasi dan tidak dapat apa-apa. Itu terus terjadi sampai ibu-ibu takut dan tidak bisa kerja karena kepikiran,” ujar Susi, Selasa (20/6)
Ia adalah bagian dari sekira 50 keluarga pemilik tanah di Desa Wadas yang hingga saat ini masih konsisten menolak tanahnya dibeli oleh pemerintah untuk tambang andesit. Batu andesit ini akan digunakan sebagai material pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener yang terletak 12 kilometer dari Wadas.
Untuk kebutuhan kawasan Bendungan Bener, pemerintah berencana mengambil tanah milik warga seluas 114 hektar yang berada di perbukitan di Wadas. Namun sampai saat ini warga yang menolak tambang masih menguasai tanahnya sekira 30 hektar. Dan melalui Konsinyasi yang merupakan mekanisme diatur dalam UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Publik, pemerintah bisa memaksa mengambil tanah milik warga dan menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan setempat.
Kata Susi, pemerintah mesti mengerti alasan warga menolak menyerahkan tanahnya, yaitu ingin mempertahankan mata pencaharian mereka sebagai petani. Selain itu, uang hasil ganti rugi pasti akan cepat habis untuk membeli barang-barang konsumtif.
“Kami hanya warga biasa yg ingin mempertahankan tanah. Kenapa pemerintah terus memaksa dan meminta tanah kami. Kami ingin mempertahankan tanah untuk kehidupan anak-cucu, bukan untuk dijual agar dapat uang milyaran,” kata Susi.
Ia pun menuturkan adanya penyerobotan tanah milik warga yang menolak tambang. Tanah warga yang menolak bisa menjadi milik warga yang mau melepaskan tanahnya. Hingga saat ini pemerintah terkesan lepas tangan dan meminta warga menyelesaikan sendiri, padahal proses pengukuran tanah dilakukan oleh pemerintah.
“Pemerintah harus bertanggungjawab dengan persoalan ini karena menyangkut kehidupan kami di sini” tutur Susi.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Talabudin, warga Wadas lainnya, Ia menyatakan ancaman konsinyasi ini membuat warga petani tidak dapat bekerja dengan tenang. Mereka khawatir untuk menanam tanaman yang bisa menghasilkan dalam hitungan bulan.
“Kami khawatir, sudah menanam tiba-tiba tanah kami dikeruk oleh alat-alat berat,” ujar Talabudin.
Bahkan kekecewan pada pemerintah diungkapkannya, karena pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada warga Wadas. Bahkan aparat polisi yang pernah dua kali merepresi warga Wadas juga tidak pernah mendapat hukuman yang setimpal.
“Yang pasti, kami menginginkan tidak ada tambang di Wadas. Pemerintah harus memikirkan ulang rencana ini karena sudah melanggar banyak aturan” ungkap Talibudin.
Ia menambahkan, kehadiran Komnas HAM di Wadas, sudah tiga kali, karenanya, kepada Komnas HAM menitip harapan, agar Komnas HAM benar benar berpihak pada warga Wadas.
“Ini sudah ketiga kalinya Komnas HAM melakukan investigasi, kami berharap sekali lagi agar Komnas HAM betul-betul menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat dan mampu menekan pemerintah agar tambang dibatalkan.” harap Talibudin
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM RI, Uli Parulian Sihombing di bakal lokasi tambang, ia mendapat penjelasan warga bawah bukit yang akan ditambang adalah tempat dari semua mata air yang digunakan warga sehari-hari. Ia juga melihat ada rumah-rumah warga yang berdekatan dengan lokasi tambang.
“Jadi dalam kunjungan saya bersama rombongan staf dari Komnas HAM, semua yang kita dapatkan ini akan menjadi bahan untuk mendalami soal konsinyasi” singkat Uli.
Menanggapi masalah yang dihadapi oleh warga Wadas, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Duwi Prasetya mengatakan Izin penetapan Lingkungan (IPL) sebagai lokasi tambang andesit di Wadas sudah habis pada 7 Juni 2023 lalu. Seharusnya semua kegiatan pembebasan tanah dan konstruksi di Wadas dihentikan terlebih dahulu.
“Pemerintah juga harus mematuhi hukum dan tidak melanjutakan semua proses,” tegas Julian.
Ia mengatakan pemerintah juga harus melindungi semua hak warga Wadas yang menolak menyerahkan tanahnya. Soal penyerobotan tanah milik warga yang menolak tambang, Julian juga minta pemerintah harus bertanggung jawab menyelesaikannya.
“Kami berharap Komnas HAM bisa mengomunikasikan persoalan ini kepada Gubernur Jawa Tengah dan Presiden RI karena ini adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional,” imbuhnya. (rls/Fatur Anjasmara)