Karyawan club 37 Maleo gunakan seragam sekolah. (Foto Istimewa)
banner 728x90

Mamuju, Katinting.com – Sejumlah karyawan club 37 Hotel Maleo didapati menggunakan pakaian seragam sekolah SMA dan SMP lengkap denga lambang Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan Tut Wuri Handayani dalam melayani pengunjung.

Hal ini diketahui ketika sejumlah petugas gabungan dari TNI, Polri dan Satpol PP dan BNBP Sulbar melakukan razia ditempat hiburan malam (THM) yang terletak dijalan Yos Sudarso, Mamuju, pada Selasa (24/7) malam kemarin.

Menanggapi penggunaan seragam sekolah oleh karyawan club 37 Maleo, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Mamuju, Hajrul Malik menganggap hal tersebut sangat tidak etis.

“Sangat tidak etis. Apapun alasannya tidak bisa digunakan untuk season tertentu karena itu THM,” ujar Hajrul Malik saat dihubungi Katinting.com, Kamis (25/7).

“Pandangannya begini, THM itukan oleh stigma publik sebagai tempat hiburan orang dewasa,walaupun memang itu tidak dimaksudkan seperti apa tapi itu tidak boleh dijangkau oleh anak-anak sekolah,” sambungnya.

Hajrul Malik menambahkan, meskipun alasan pihak Maleo untuk memberikan dukungan atau support dengan teman ‘back to school’, ha tersebut tidak bisa dibenarkan karena bukan pada tempatnya.

“Penggunaan seragam anak sekolah di club 37 Maleo itu seolah-olah ada kampanye terselubung bahwa kedatangan anak-anak sekolah di THM ini dianggap sesuatu yang biasa. Jadi mengangkrabkan itu yang tidak bisa kita terima,” cetusnya.

Olehnya itu, ia juga mengaku telah melakukan konsultasi dengan para pengurus dewan pendidikan Mamuju terkait persoalan tersebut.

“Kita minta Pemerintah Daerah (Kabupaten Mamuju) bertindak tegas. Kalau bisa izin club 37 ditinjau. Jika memang terjadi ada pelanggaran yang dilakukan secara sengaja, bisa sampai pencabutan ijin,” akunya

Sehingga hal tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi pihak club 37 Maleo.

“Kalau misalnya season itu dipakai untuk hotel, itu bisa saja karena itu tempat terbuka yang bisa dijangkau oleh anak-anak, tapi ini THM.

“Ini sangat mengganggu kenyamanan kita sebagai aktivis pendidikan. Saya kira bukan hanya dewan pendidikan harus bersikap, justru guru siswa karena seolah-olah ini di akrab-akrabkan bahwa THM itu boleh dikunjungi oleh siswa dengan berseragam. Jadi menurut saya ada semacam kampanye terselubung mengajak anak-anak sekolah masuk THM,” tutup Hajrul Malik.

(Zulkifli)

Bagikan