Penulis: Muhammad Abid Alimuddin Lidda

**Oleh: MUHAMMAD ABID ALIMUDDIN LIDDA

Ngobrol politik, barangkali salah satu tema rumpi yang paling seru dan menyenangkan dikalangan Masyarakat, pertama karena politik menyangkut urusan orang banyak, Kedua Politik itu tentang pihak memihak, ini menjadi panggung siapa lawan siapa dan siapa kawan siapa. Dan Ketiga Ngobrol politik itu keren apalagi politik pilkada 2024, minimal kitab bisa terlibat dalam menganalitik agar tidak dianggap hanya asal bunyi dan omong kosong.

banner 728x90

Hal demikian menggiring Masyarakat untuk mau tidak mau terjebak pada situasi yang memaksa untuk membahas politik,saling ngotot dan tidak boleh mengalah sebab ini soal prestise Dimana kita sedang bicara urusan orang banyak dan ini soal kepada siapa kita memihak.

Masyarakat beruntung media media seperti TV, Youtube, Instagram, Facebook dll, Dimana media ini cukup membantu Masyarakat dalam meanambah kapasitas literasi politik Masyarakat, namun yah kita juga sadari racun Hoax juga berseliweran diberbagai berita politik.

Media media terutama media social cukup begitu efektif menjadi sarana kampanye politik sebab ide dan gagasan politik bisa langsung direspon dan Masyarakat bisa langsung menanggapinya. Banyaknya polling-polling survei pilkada di medsos yang berseliweran, tidak sedikit pula menyinggung politik uang, bahkan soal program nasional sebagai bahan kampanye pilkada.

Jadi menarik Ketika kita mencoba mengobrolkan tiga hal yang begitu dekat dengan Masyarakat yaitu Media Sosial, politik Uang dan Politisasi, sebab selain dekat juga disinyalir menjadi alat sensitive ditiap gelaran Pilkada,Pileg maupun Pilpres.

Pertama Media Sosial, Data yang begitu mencolok kita temukan dari Laporan We Are Social menyebutkan, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 139 juta orang pada Januari 2024. Jumlah tersebut setara dengan 49,9% dari populasi di dalam negeri. Hal ini dinilai bahwa media social lebih efektif untuk kampanye politik, Media sosial dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap pilihan politik, media social juga menjadi alat penting dalam kampanye politik. Selain itu, media sosial juga dapat menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat dalam mencari informasi terkait situasi politik. Sekitar Sepertiga orang setuju bahwa informasi yang mereka terima melalui media sosial membantu mereka mengambil atau mengubah Keputusan politiknya.

Di era media sosial, partisipasi aktif masyarakat dalam proses komunikasi politik menjadi semakin penting. Bennett & Segerberg (2012) mengemukakan bahwa media sosial memfasilitasi partisipasi yang lebih besar dalam diskusi dan respons terhadap isu- isu politik, menciptakan dinamika komunikasi yang lebih interaktif dan personal. Media sosial juga mengubah cara aktor politik merespons umpan balik publik, seperti yang ditegaskan oleh Gamson & Modigliani (1989), yang menyatakan bahwa platform ini memperluas ruang partisipasi dan memengaruhi pembentukan opini publik.

Media sosial telah menjadi alat penting dalam strategi komunikasi politik modern. Menurut Kaplan dan Haenlein (2010), media sosial memungkinkan politisi untuk berinteraksi langsung dengan konstituen, menyampaikan informasi secara real-time, dan mendapatkan umpan balik langsung. Kebanyakan actor politik hari ini memanfaatkan platform seperti Facebook dan Instagram untuk menjangkau generasi muda dan masyarakat yang lebih terbiasa dengan teknologi. Fitur-fitur seperti live streaming, stories, dan posting reguler meningkatkan keterlibatan dan interaksi antara pemimpin dan Masyarakat.

Namun disisi lain tantangan muncul ketika media sosial melakukan penyebaran informasi palsu/hoax, polarisasi opini, dan manipulasi, Kampanye hitam dan serangan pribadi terhadap kandidat dapat dengan mudah menyebar melalui platform, dan ini mempengaruhi opini publik dengan informasi yang tidak valid. Hal ini dapat merusak reputasi actor politik dan memengaruhi keputusan pemilih tanpa dasar yang kuat,sementara algoritma platform cenderung mengekspos pengguna pada pandangan serupa, untuk memperkuat polarisasi.

Jadi diperlukan sebuah pemahaman literasi digital yang baik dan pemahaman etika dalam bermedia sosial untuk menjaga diskusi yang sehat dan menghindari penyebaran berita palsu dan konten provokatif yang bisa menimbulkan perpecahan dalam bermasyarakat.

Kedua Politik Uang, Politik Transaksional, jual beli suara sudah menjadi rahasia umum yang boleh dikatakan lazim digunakan oleh para politisi untuk mendapatkan suara maksimal. Masyarakat kita menyebutnya serangan fajar terkadang dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk sembako.

Dikalangan Masyarakat Ketika ditanyakan apakah politik uang masih efektif atau tidak efektif dalam mendulang suara pemilih jawabanya Uang masih efektif. Jadi Pemilu tahun 2024 masyarakatĀ  menganggap lumrah politik uang. Mengutip hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019, sebanyak 48% masyarakat beranggapan jika politik uang adalah hal yang biasa. SMRC pada periode Oktober-November 2023 juga merilis hasil surveinya bahwa sebanyak 44% masyarakat menyatakan bisa menoleransi politik uang sebagai hal yang wajar. Sementara itu, 56% lainnya mengaku tidak dapat menerima cara tersebut dalam meminta suara rakyat.

Praktik politik uang menyebabkan mahalnya biaya politik. Dalam rilis Tirto.id pada 2019 hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa untuk menjadi Walikota/Bupati dibutuhkan biaya Rp 20 hingga 30 Miliar, sementara untuk menjadi Gubernur 20 sampai 100 Miliar.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) politik uang menjadi salah satu bahaya laten dalam perhelatan Pilkada. Politik uang ini menjadi beberapa bentuk, Seperti mahar politik, biaya kampanye, serangan fajar, suap dan jual beli kursi.

Dalam uraian ini kita menitikberatkan pada serangan fajar sebab serangan fajar ini langsung bersentuhan dengan calon pemilih.

Di Masyarakat kita menemukan pernyataan yang beragam, ada yang mengatakan bahwa yang memilih politik uang tidak efektif dalam mendulang suara pemilih sebab Masyarakat juga mulai cerdas sampai ada slogan dimasyarakat ā€œAmbil Unagnya Jangan Pilih Orangnyaā€

Ongkos berpolitikĀ di negeri ini bukan main mahalnya, kita belum menemukan ada gebrakan untuk mengatur atau menekan agar biaya politik tak membengkak. Ongkos berpolitik yang selangit bakal merugikan kandidat/calon pemimpin yang punya kapasitas, sebab kalah isi tas.

Kesimpulannya politik uang ini akan tetap menjadi praktik politik yang menggiurkan tiap kali konstestasi politik berlangsung, terlepas apakah masih efektif atau tidak.

Ketiga Politisasi, Seringkali kita mendengar kata politisasi yang konotasinya negative, dimana kata ini sering digunakan untuk menggambarkan cara politik yang tidak etis dan sangat pragmatis, para politisipun seolah olah membenci dan memusuhi kata politisasi, padahal tidak ada jaminan semua politisi benar benar bebas dari politisasi. Politik akhirnya coba dihadirkan untuk bersih dari kotoran kotoran politisasi yang setidaknya mewujudkan politik santun dan beretika, namun kenyataannya Upaya ini sangatlah tidak mudah untuk dilakukan sebab bagaimana bisa membedakan apakah suatu hal ini murni politik atau sebenarnya hanyalah politisasi?

Di titik inilah dinding tipis pemisah antara politik dan politisasi. Dan, di sini jugalah tantangan terberat untuk membedakan antara politik dan politisasi. Mungkin tidak ada hukum yang melarangnya. Tapi, kewarasan etika politik kita yang bekerja untuk mencap politisasi ini pantas ataukah tidak.

Pembeda antara politik dan politisasi adalah pada niat si pelaku atau sipembuat pesan, begitupula penerima pesan akan mampu memberikan penilaian atas pesan tersebut. cukup banyak metode penafsiran yang dapat kita gunakan dalam melihat fakta pesan yang dikirimkan oleh pejabat, politisi, atau siapa saja yang pesannya bernuansa politis. Misalnya, kita meminjam seni memahami atau hermeneutikanya Friedrich Schleiermacher, dengan mencoba masuk ke dunia si pengirim pesan. Salah satu cara dengan memahami psikologis si pengirim pesan tersebut (interpretasi psikologis).

Kita mencoba mengurai lebih jauh terkait politisasi terutama politisasi program ditahun politik. Tentu Kita masih mengingat saat Menteri keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (19/3/2024), pernah merinci pembagian anggaran bansos, di antaranya Rp 12,8 triliun untuk pemanfaatan di Kementerian Sosial (Kemensos). Dalam Anggaran itu digunakan untuk program keluarga harapan (PKH) bagi 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan kartu sembako bagi 18,7 juta KPM.

Kemudian untuk Kementerian Kesehatan Rp 7,7 triliun yang peruntukannya buat Penerima Bantuan Iuran (PBI) program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi 96,7 juta peserta, untuk Kemendikbudristek Rp 900 miliar buat 1.000 siswa penerima Program Indonesia Pintar (PIP) dan KIP kuliah untuk 105 ribu mahasiswa.

Selain itu, ada juga untuk Kementerian Agama yang anggarannya mencapai Rp 1,1 triliun untuk bantuan PIP bagi 1,4 juta siswa dan KIP kuliah bagi 11,1 ribu mahasiswa, serta BNPB Rp 800 miliar untuk bencana.

Program bantuan sosial sesungguhnya adalah program yang menjadi hak dan dibutuhkan masyarakat banyak ketika mereka menghadapi tekanan kebutuhan hidup. Masa-masa krisis, ketika tekanan kemiskinan terasa mencekik, kehadiran bantuan sosial sering menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan, tetapi, di tahun politik, makna pemberian bantuan sosial berubah.

Diberbagai pengalaman membuktikan politisasi bantuan sosial ditahun politik sangat rentan dipolitisasi dengan narasi seolah olah mengatakan bahwa penyaluran program sosial identik dengan paslon tertentu, bahkan dengan kesan bahwa program sosial tersebut akan dihentikan jika paslon tertentu tidak dipilih, tentu ini bukan hanya menyesatkan tetapi juga mencederai tujuan luhur demokrasi.

Politisasi program, ini adalah praktek lama yang terkesan ada keenggangan untuk menghentikannya, politisasi Program Nasional atau bansos seringkali dijadikan sebagai alat electoral para kandidat dengan praktiknya menyalurkan program tersebut ke daerah daerah yang dukungan elektoralnya rendah.

Namun, apapun metode penafsiran yang kita gunakan dalam mengungkap politisasi, kita tetap berharap agar politisasi itu tidak ada. Sebab, politik yang bermartabat adalah politik tanpa politisasi. (**)

Bagikan