banner 728x90
banner 728x90

Mamuju, Katinting.com – Bencana industri semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006 lalu, menjadi skandal terburuk di jaman setelah Suharto.

Bencana industri yang dahsyat itu menenggelamkan lebih dari 10.000 rumah, fasilitas publik (sekolah, masjid, kantor pemerintahan), dan memaksa lebih dari dua puluh ribu warga mengungsi mencakup kolusi di antara korporasi dan pemerintah, hingga pengerahan dana publik untuk menutup pengendalian kerusakan sosial-ekologi.

Bencana industri Lapindo inilah yang kemudian disepakati secara nasional untuk ditetapkan menjadi Hari Anti Tambang (HATAM) dan telah diperingati tiap tahun sejak 2011.

Ekspansi industri ekstraktif pertambangan di Sulawesi Barat semakin massif terjadi, dan telah menunjukan kepongahannya. Arogansi itu diperlihatkan oleh pemerintah yang sangat memberikan izin tanpa melibatkan partisipasi masyarakat yang nantinya terdampak dari daya rusak operasi produksi pertambangan itu sendiri.

Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah juga telah menjadikan seluruh ruang darat provinsi Sulawesi Barat sebagai wilayahp ertambangan, tanpa memperdulikan entitas yang terdapat diatas tanah tersebut.

Ancaman daya rusak pertambangan bukanlah ancaman yang ringan yang dapat diatasi dengan jangan waktu yang singkat. Tetapi daya rusak pertambangan akan dirasakan melampaui izin operasi mereka sendiri serta tidak mengenal wilayah administrasi.

Misalnya seperti yang terjadi di Desa Tamalea, Bonehau, Mamuju. Desa ini terdapat perusahaan tambang batubara yang dikelola oleh PT Bonehau Prima Coal (BPC) dengan luasan konsesi mencapai 98 Ha.

Limbah tambang yang nantinya akan diproduksi oleh BPC tentunya akan dibuang ke sungai, yang mana sungai tersebut merupakan salah satu sumber air bersih

warga, khususnya masyarakat Tarailu, yang secara otomatis jika sumber air bersih mereka sudah dirampas oleh BPC, maka masyarakat akan mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan air bersih.

Sementara itu, masyarakat Desa Tamalea telah ditipu oleh BPC, mengenai daya rusak yang akan dihasilkan oleh perusahaan tambang tersebut. BPC tidak pernah secara jujur menyampaikan masalah yang akan di derita warga, jika perusahaan itu dalam jangka waktu yang lama mengeruk dan menghancurkan hutan Desa Tamalea.

Maka, ancaman seperti pencemaran udara yang berakibat pada gangguan pernafasan. Limbah batubara yang bisa menyebabkan penyakit scabies (Gatal-gatal), hingga hilangnya tutupan hutan juga akan memperparah krisis iklim.

Di tempat lain seperti Majene, terdapat pertambangan batu gajah yang dikelola oleh PT Putra Bonde Mahatidana, yang mana komoditas tambang ini akan disuplai untuk pembangunan IKN.

Izin eksploitasi peruusahaan terbit dengan melakukan manipulasi dokumen yang menjadi syarat terbitnya perizinan. Hingga hari ini, warga desa Banua Sendana masih tetap melakukan perlawanan agar IUP dari PBM segera dicabut.

Di Kalumpang, juga terdapat pertambangan emas tanpa izin. Awal mulanya konsesi seluas kurang lebih 2000 Ha dimiliki oleh PT Mega Agro Persada. Namun izinnya dicabut, dan diduga tetap melakukan penambangan dengan back up aparat keamanan.

Sementara di Pasangkayu juga terdapat 8 perusahaan kategori batuan yang beroperasi tanpa memiliki dokumen legal.

Untuk wilayah Polewali Mandar, terdapat 3 IUP dengan luasan konsesi mencapai ratusan hektar. Seperti PT Isco Iron, luas konsesi 943 Ha dengan komoditas tambang Bijih Besi. PT Isco Polman Resources, 199 Ha (Timbal) dan PT Inti Karya Polman seluas 776 Ha, untuk komoditas tambang Galena.

Berdasarkan informasi tapak, 2 dari 3 perusahaan yang disebutkan diatas akan mulai beroperasi tahun depan. Bisa anda bayangkan, beberapa waktu terakhir

Polman seringkali dilanda banjir dengan skala yang begitu besar dan tentunyan telah memberikan kerugian bagi masyarakatnya.

Bagaimana jika perusahaan tersebut mulai beroperasi, bencana ekologis yang lebih besar akan senantiasa mengancam keselamatan masyarakat Polman itu sendiri.

Ini menjadi salah satu penanda penting, bahwa model pengembangan ekonomi yang bertumpu ekstraktivisme yang kemudian berorientasi pada pertumbuhan, alih-alih menciptakan kesejahteraan seperti yang selalu digaungkan bagi pihak yang pro industri ekstraktif ini. Justru, industri ini nantinya akan meninggalkan masalah yang sangat serius dan berjangka panjang.

Tidak hanya itu, keberadaan tambang juga akan memiskinkan dan membangkrutkan warga yang bermukim di sekitar lokasi konsesi tambang. Seperti biaya kesehatan akan bertambah akibat penyakit yang dihasilkan dari pertambangan yang menjangkiti warga.

Biaya ekonomi pun juga akan bertambah, yang diakibatkan sumber air warga yang terpapar racun dari limbah tambang. Dan tidak jarang, lubang bekas galian tambang mereka yang menelan nyawa korban.

Seperti yang terjadi di Kalimantan, yang mana terdapat puluhan anak-anak meninggal tenggelam di bekas lubang galian tambang tanpa adanya reklamasi.

Oleh sebab itu, berdasarkan dari situasi diatas kami dari FPPI Mamuju, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional dan Koalisi Majene Bergerak menuntut pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Sulawesi Barat:

1. Moratorium Pemberian Izin Tambang dan Hentikan Seluruh Aktivitas Pertambangan di Wilayah Sulawesi Barat.

2. Tindak Tegas Perusahaan Tambang yang Tidak Memiliki Izin.

3. Cabut UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja

4. Hentikan Pembabatan Hutan Bonehau untuk Perkebunan Sawit.

(*)

Narahubung: (085298306009) Farhat Al-Kasman – (082266879534) Muh Irfan Herianto Nur

 

 

Bagikan

Comment