Tradisi atau Sangka' di Mamasa

Mamasa, Katinting.com – Tradisi atau Sangka’ di Mamasa merupakan warisan leluhur yang diwariskan secara turun-temurun dan tetap dijaga oleh masyarakat Desa Buntubuda, Kabupaten Mamasa. Salah satu perwujudan tradisi ini terlihat dalam upacara Mallepongi Tondok pada tradisi Marraruk Tondok atau peresmian kampung baru di wilayah Tetean.

Pagi hari, Dominggus, yang akrab disapa Ambe Sone’, memastikan kehadiran kami di acara tersebut dengan panggilan telepon yang lugas. Acara ini bukan pertama kali diadakan, tetapi kali ini berbeda karena selain memperluas wilayah perkampungan, juga dilakukan peresmian kampung baru di Tetean yang berada di antara area persawahan dan pemakaman dari Kampung Tua Buntubuda.

Tamu disambut dengan sajian kopi dan cemilan di kediaman Ambe Sone’ yang berjarak sekitar 3,8 kilometer dari Pusat Kota Mamasa. Saat acara dimulai, hembusan angin di tengah hamparan sawah dan cuaca cerah seolah memberikan restu alam. Upacara Marraruk Tondok diawali dengan penyembelihan hewan berupa ayam jantan, babi, dan anjing, kemudian dilanjutkan dengan penanaman sabang merah (tabang) dan pohon beringin (barana’) yang dipimpin oleh Pemangku Adat Rambu’ Saratu’, Lento Dessiande, bersama tokoh masyarakat dan jajaran pemerintahan desa setempat.

Penanaman dilakukan dari arah barat, selatan, timur, dan berakhir di utara. Barana’ atau beringin melambangkan orang tua kampung atau Barana’ Tondok, sementara tabang menunjukkan batas wilayah pemukiman warga atau kampung.

Lento Dessiande menjelaskan bahwa tanah setelah ditetapkan sebagai perkampungan memiliki beberapa sebutan:

  • Litak Anak Muane atau tanah umum yang diatur oleh orang tua dalam kampung.
  • Litak Pasang atau tanah penggembalaan yang dikelola oleh Puana Pasang, orang yang dituakan dalam penggembalaan.
  • Litak Pebabasan atau tanah penyembelihan hewan kurban bagi orang yang berduka, yang tidak dapat dipindah tanpa sepengetahuan orang tua adat.
  • Litak Uma atau area persawahan sebagai tempat bercocok tanam padi, yang diatur oleh orang tua kampung namun sekarang dominan diatur oleh pemerintah.

Lento menekankan pentingnya menjaga tradisi dan kebiasaan leluhur dalam kehidupan perkampungan. Tradisi ini, seperti yang dijelaskan oleh Lento, berasal dari pengamatan dan tindakan orang tua di masa lalu yang kemudian disukai oleh Tuhan, sehingga dilanjutkan hingga kini.

Berbagai tradisi manusia dalam perkampungan (Sangka’ Rupatau illan Tondok) yang dijunjung tinggi antara lain:

  • Mesa issong, Mesa timbu miki’ yah siuluk miki’ tek mala silas-lassui: satu lesung satu sumur berarti bersaudara dan tidak mudah terbawa amarah.
  • Buku Rarata tek mala disaki-saki: sesama saudara tidak boleh saling menyakiti.
  • Tek tau mak kabuto-buto: tidak boleh berbohong.
  • Sikamasei tau: saling mengasihi.
  • Tek Mala Tau Mubeso Katonan: tidak boleh menggeser batas.

Pada akhir acara, Ketua BPD Desa Buntubuda, Daniel Sarrin, mengingatkan bahwa orang tua dalam kampung ditentukan bukan berdasarkan usia, tetapi siapa yang bisa berbuat dan memikirkan masyarakat. Dominggus (Ambe Sone), Adi (Ambe Evan), dan Dessi Naya (Ambe Arni) ditetapkan sebagai orang yang dituakan di Kampung Tetean.

Kepala Desa Buntubuda, Armas, mengucapkan syukur atas penyertaan Tuhan dalam peresmian Kampung Tetean dan berharap kampung tersebut dapat menjadi contoh persatuan di desa. Upacara Tradisi Marraruk Tondok diakhiri dengan ibadah syukur yang dipimpin oleh Pendeta Apri Nobel dengan pembacaan Alkitab dari Ulangan Pasal 28 Ayat 1-6. (Saldi)

Bagikan