

Oleh : Muh Irfan
Kita semua mengetahui bahwa pendidikan diciptakan sebagai usaha untuk mencerdasakan kehidupan bangsa, sesuai apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 45. Namun yang kadang-kadang sering terlintas dipikran kita apakah konsepsi seperti itu sudah benar-benar dilaksanakan dalam konteks realitas yang terajdi pada saat ini didunia pendidikan.
Secara kelembagaan atau secara formal pendidikan di indonesia dimulai sejak kemunculan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada saat tahun 1902, yaitu sebagai politik balas budi kepada rakyat indonesia. Dimana politik etis sendiri terdiri dari tiga program dasar yaitu berupa irigasi, imigrasi dan juga edukasi. Dari poltik etis ini pulalah yang pada akhirnya menajdi awal bagi kemunculan pergerakan kaum muda yang terdidik yang berasal dari beberapa kaum muda yang telah merasakan pendidikan tinggi diluar negeri, seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan lain sebagainya. Ini adalah salah satu kebangkitan kaum muda khususnya kaum bangsawan atau priyayi untuk memplopori perjuangan revolusi kemerdekaan republik indonesia.
Bagi kaum penjajah kolonial belanda tentunya hal ini merupakan suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka inginkan sebelumnya terhadap politik etis. Hal ini dikarenakan belanda menginginkan poltik etis sebuah strategi bagi pemerintah belanda untuk bagaimana bisa mencuri uang dari tangan kaum bangsawan pribumi dan juga hasil alam indonesia, selanjutnya politik etis juga strtegi belanda untuk melakukan hegemoni atas bangsa indonesia, karena mereka yang telah keluar dari sekolah tinggi tersebut nantinya akan dijadikan sebagai tenaga produktif belanda guna mengsisi kekosongan yang terdapat pada perusahaan belanda yang ada di indonesia.
Namun pada kenyataannya berbeda niat buruk hindia belanda berubah menajdi nasib baik terhadap indonesia, diman kaum muda yang disekolahkan oleh belanda memilih untuk tidak hidup bergelimang uang dan harta dengan belanda. Bahkan beberapa dari mereka justru menjadi sadar akan perangnya sebagai kaum pelopor yang akan mendorong perubahan bangsa indonesia dengan tetap setia di garis massa.
Dalam konteks yang terjadi di Indoensia ternyata tidaklah terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi dimasa penjajahan dahulu. Pasca pemerintahan Soekarno atau lebih tepatnya masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru), kita bisa melihat bagaimana dunia pendidikan benar-benar menjadi sebuah alat bagi negara yang semata-mata digunakan untuk menyukseskan putaran roda ekonomi Negara.
Artinya segala institusi dan instrumen yang ada didalam negara pada dasarnya tidak lain adalah perpanjangan tangan dari kekuatan modal, yang dilkakukan melalui kebijakan yang diambil oleh Negara, yang pada akhirnya hal tersebut merembes pada dunia pendidikan, sehingga orientasi pendidikan tidak memiliki arah yang jelas karena dunia pendidikan semata-mata diarahakn untuk menyukseskan program pembangunan yang menjadi icon Orde Baru pada saat itu.
Pada tingkatan universitas atau perguruan tinggi dunia pendidikan juga mengalami pergeseran orientasi yang sangat signifikan, dimana yang pada awalnya universitas dibangun sebagai upaya untuk menjadikan manusia agar menjadi manusia yaitu menuju perkembangan untuk menjadi manusia yang lebih dewasa, berintelktual, bermoral, populis, kritis dan maju.Tetapi pada kenyataannya dunia perguruan tinggi hari ini cenderung mengarahkan mahasiswa menjadi tenaga-tenaga produktif guna memenuhi kebutuhan pasar. Imbas daripada ini semua wacana-wacana kebenaran, keadilan maupun intelektual mahasiswa secara perlahan-lahan mulai digeser oleh pola pikir yang pragmatis yaitu dengan lulus cepat, IPK dengan nilai yang tinggi serta mendapatkan kerja yang baik dengan mode pembangunan.
Ini artinya mode pembangunan (developmentalisme) yang di lakukan di orde baru guna menciptakan tenaga kerja yang siap pakai, terampil serta taat pada atasan tanpa harus memiliki pikiran yang kritis, konseptual serta memiliki intelektual yang tinggi. Ini mengakibatkan standar keberhasiilan pendidikan menjadi rancu karena diiukur dengan kondisi fisik yang nyata, yaitu berapa banyak lulusan yang dihasilkan, seberapa lama waktu studi serta sejauh mana lulusan yang bisa bekerja, parahnya lagi mahasiswa seolah-olah diposisikan seperti halnya sebuah barang yang harus diproduksi secara seragam tanpa harus dipikirkan kembali berguna atau tidak.
Dalam konteks yang terjadi saat ini, paradigma diatas jelas masih sangat benar-benar kita rasakan. Dimana Universitas yang sampai hari ini pun masih tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan orde baru, hal ini kita dapat lihat bagaimana sistem sks, metode perkuliahan seta metode-metode yang lain masih tetap dilakukan. Krisis keuangan yang terjadi hingga pemerintah saat ini juga telah menyebabkan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan kita saat ini.
Lilitan utang luar negeri yang terus bertambah dari tahun ketahun juga sangat berakibat fatal bagi dunia pendidikan kita saat ini.Karena sebagian anggaran pendidikan digunakan untuk menutupi devisit anggaran dana guna membayar hutang indonesia diluar negeri. Akibatnya dunia pendidikan mengalami kekurangan anggaran dan untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut dilakukanlah komersialisasi pendidikan, dimana tiap perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta diberikan kebebasan untuk mencari anggaran kekurangan mereka, akibatnya mereka seenaknya menaikkan biaya pendidikan bagi setiap calon peserta didik yang akan masuk ke pergeruan tinggi tersebut.
Mahalnya biaya pendidikan kemudian menyebabkan semakin sulitnya masyarakat kelas bawah untuk menikmati pendidikan diperguruan tinggi pada khususnya, padahal sesungguhnya dengan bersekolah diperguruan tinggi memungkinkan bagi mereka upaya untuk terlibat dalam pembangunan perubahan struktur sosial masyarakat. Dampaknya pun secara otomatis juga membuat lapangan pekerjaaan hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas yang bernotabene seorang sarjana. Sehingga kita bisa menganalisa peran sistem pendidikan tinggi juga tidak jauh berbeda dengan sebagai upaya untuk melengserkan masyarakat kelas bawah.
Belum lagi percepatan diperkuliahan perguruan tinggi saat ini tidak seimbang dengan kualitas mahasiswa yang keluar ini dikarenakan ada upaya serta opini dari birokrasi kampus bahwa mahasiswa cepat lulus serta memiliki IP tinggi adalah mahasiswa yang cerdas. Dari sinilah kita seorang kaum intelektual hendaknya dapat kritis menyikapi semua problem yang ada saat ini baik isu sosial maupun isu dalam kampus karena sejatinya pendidikan adalah manusia memanusiakan manusia.

