Pasangkayu, Katinting.com – Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dianggap kontroversial oleh berbagai kalangan tak hanya heboh saat pembahasan, tapi melainkan pasca ditetapkan pun publik masih heboh.
Pasalnya, banyak beranggapan bahwa undang-undang tersebut tak berpihak pada rakyat kecil dan hanya menguntungkan pihak tertentu. Sehingga, sejumlah pihak mengadukan UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materil (judicial review).
Sebelumnya judicial review, seperti dikutip dari berbagai laman media nasional, kelompok buruh juga mendesak DPR RI untuk melakukan legislatif review agar UU ini dibatalkan.
Berdasarkan keputusan MK tentang undang-undang sapu jagat (omnibus law) mengabulkan sebagian poin saja, karena dinilai inkonstitusional bersayarat.
Meski begitu, undang-undang ini tetap berlaku. Sebab, MK hanya meminta untuk diperbaiki dalam tenggat selama dua tahun hingga 25 November 2023 mendatang.
Penolakan pemberlakuan undang-undang tersebut juga datang dari FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) DPW Sulawesi Barat.
Sekretaris FSPMI Sulbar, Herman Yunus kepada media ini, Kamis, 25 November 2021, meminta kepada gubernur dan bupati se-Seluwesi Barat agar tidak mengacu kepada UU Omnibus Law dan PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan dalam penetapan UMK (upah minimum kabupaten).
“Karena pada poin 7 dalam amar putusan MK, bahwa pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan strategis yang berdampak luas seperti upah. Karena, upah bagian dari urat nadi parah buruh,” pinta pria yang akrab disapa Bung HY ini.
Arham Bustaman