Gambar Ilustrasi/Riskidamayanti (net)
Muh. Farrel Islam. (Ist.)
banner 728x90

Oleh: *Muh. Farrel Islam

(Mahasiswa Sejarah, Universitas Negeri Malang-UM)

Jika kita menyebut kata “Desa”, maka secara spontan sebagian orang akan membayangkan hamparan sawah, para petani, atau hempasan ombak yang dibelah perahu-perahu nelayan tradisional. Juga mungkin sebagiannya lagi membayangkan bahwa Desa dihuni masyarakat tradisional yang belum melek teknologi atau ketinggalan zaman.

Paradigma seperti diatas seharusnya sudah perlahan mulai disingkirkan sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Melalui regulasi ini, negara memberikan “otonomi” kepada Desa untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada Desa, tentu saja menjadi angin segar bagi masyarakat yang ingin hidup lebih layak.

Untuk menunjukan keseriusan negara dalam memberikan otoritas kepada pemerintah desa, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN yang kemudian diubah dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN. Dengan payung hukum ini, pemerintah desa mendapatkan anggaran yang cukup fantastis dari APBN untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat—satu Miliar satu Desa.

Lantas mengapa sampai detik ini, masih saja banyak desa yang gagal meningkatkan taraf hidup masyarakatnya?. Hal ini terjadi karena “Desa” diperintah oleh Oligarki—orang  yang menjadi penyokong utama calon terpilih dalam pemilihan kepala desa.

Muncul “Kapitalis Lokal” dalam Pilkades

Sikap pragmatis tentu saja tidak bisa dihilangkan dalam diri manusia. Pragmatisme inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir oknum tim sukses calon kepala desa—melakukan money politic. Dalam kondisi semacam ini, calon kepala desa secara tidak langsung telah mengikat diri dalam “deal politik” dengan para kaum pemodal—yang tidak lain adalah masyarakat desa itu sendiri, namun sudah berada pada tingkat ekonomi yang cukup mapan dan dianggap memiliki pengaruh. Sebut saja mereka “kapitalis lokal”.

Para pemodal dalam Pemilihan Kepala Desa ini tentu saja memiliki kepentingan dalam pemerintahan desa. Untuk itu, sokongan terhadap kepada calon kepala desa tidak sembarangan, hanya kandidat tertentu yang akan mendapat dukungan—yaitu orang yang mampu dikendalikan dan diajak bekerjasama—tentu dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Kondisi semacam ini bukan isapan jempol saja. Dana Desa dari APBN—satu Miliar satu desa yang dikelola pemerintah desa akan sangat menggiurkan—bagai sebuah oase pelepas dahaga ditengah lautan pasir gurun. Maka tidak heran, banyak orang yang berlomba-lomba mendapatkannya—namun tidak sedikit juga yang berkahir di jeruji besi.

Singkatnya, pragmatisme membuka jalan bagi “kapitalis lokal” untuk menyelinap dalam hasrat berkuasa yang berujung pada politik balas jasa—antara kandidat terpilih dengan pemodal.

Realita ini terjadi dalam setiap Pemilu apapun, tetapi mirisnya praktik semacam ini telah merambah hingga ke desa—tatanan paling sederhana dalam ketatanegaraan. Akhirnya, desa diperintah oleh oligarki—kepala desa dan pemodalnya.

Mengendalikan BPD, Membungkam Nalar Kritis

Badan Permusyawaratan Desa sebagai wakil masyarakat dalam pemerintahan desa sekaligus sebagai lembaga yang memiliki kewajiban mengawasi kinerja pemerintah desa tidak lepas dari intervensi para—oknum kepala desa dan pemodalnya. Terutama sekali pada proses pemilihan anggota BPD.

Kepala Desa dan “kapitalis lokal” memegang peranan penting dalam proses pemilihan anggota BPD. Pengaruhnya mampu mendorong kandidat anggota BPD tertentu untuk terpilih. Tidak sembarangan, mereka yang didukung oleh Oligarki dianggap mampu dikendalikan dan tidak akan menghambat apapun kebijakan pemerintah desa.

Akhirnya, jika sebagian anggota BPD mampu dikendalikan oleh Oligarki maka jalannya pengawasan terhadap pemerintah desa akan pincang—tidak berjalan normal. Apalagi jika semua anggota BPD adalah orang-orang yang berhasil disisipkan oleh Oligarki, maka BPD tidak lain hanya akan menjadi pajangan dinding kantor desa—Oligarki akan langgeng berkuasa.

Betapa mengerikannya kekuasaan tanpa kontrol-pengawasan, bebas melakukan apapun tanpa ada suara miring sebagai penyeimbang. BPD sebagai ujung-nalar kritis masyarakat desa dibungkam, bahkan berhenti bersuara.

Desa Dikuasai Oligarki    

Seperti kata ahli propaganda Nazi, J. Goebbels, “sebarkan kebohongan berulang-ulang, maka publik akan memercayainya”. Maka segala penyimpangan dalam pemerintah desa akan berjalan terus menerus secara konsisten bagai sebuah kebenaran—suci bersih, jika tanpa pengawasan.

Apabila BPD dikendalikan Oligarki, maka pemerintahan desa tidak terkendali. Segala kebijakan akan diperuntukkan kepada segelintir orang saja—tidak ada yang menghalangi atau mengkritisi karena BPD sudah mampu dikendalikan.

Social control juga tidak akan maksimal, karena pemerintahan oligarki cenderung tertutup alias tidak transparan. Apalagi BPD sebagai corong informasi masyarakat untuk memperoleh data terkait permbangunan desa sudah disumbat—ini adalah mimpi buruk bagi masyarakat desa.

Maka, tinggallah desa seperti “Kue Tart” di hari ulang tahun, meskipun banyak tamu, tapi tidak semua orang mendapatkannya—hanya orang tertentu saja. Manfaat dari dana desa hanya akan terasa bagi orang-orang sekitar kekuasaan saja, minim manfaat bagi masyarakat luas.

Melawan Penyimpangan

Pragmatisme sebagai pintu gerbang utama segala kerancuan dalam pemerintahan desa tidak bisa disalahkan. Sikap pragmatis masih sangat manusiawi—sifat alamiah manusia. Meskipun pragmatisme dan politik uang sudah menjadi satu kesatuan, tetapi pragmatisme sulit di berantas.

Politik uang akan lebih mudah diberantas ketimbang berbicara soal pragmatisme. Tetapi dalam perspektif sekarang ini, politik uang semakin sulit diendus—dilakukan secara senyap, ibarat operasi intelijen.

Dampak dari politik uang adalah munculnya politik balas jasa—embrio penyimpangan dalam pemerintahan desa. Puncaknya adalah kasus korupsi yang selalu saja menyeret kepala desa.

Jelas saja keadaan ini tidak bisa dibiarkan. Melawan penyimpangan adalah kewajiban setiap orang. Maka pemahaman terhadap kondisi dan sistem kerja pemerintah desa diperlukan.

Melawan penyimpangan dana desa terutama sekali harus dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa. Kepekaan dan “nyali” tentu saja diperlukan, keberanian untuk mengkritisi segala sesuatu yang berpotensi menyimpang harus dipupuk agar benar-benar tumbuh subur untuk terus bersuara.

Meskipun pemerintah desa mampu disisipi para “kapitalis lokal”, tetapi dengan hadirnya BPD yang “vokal” dan konsisten untuk mengkritisi kebijakan pemerintah setidaknya akan membuat para oknum nakal dalam tubuh pemerintah desa berpikir berulang kali untuk melakukan penyimpangan.

Apalagi jika BPD di back up oleh social control oleh masyarakat—yang ketat dan cerdas, maka dapat dipastikan penyimpangan dapat diminimalisir. Social control oleh masyarakat, mahasiswa, para tokoh masyarakat dan pemuda setidaknya mampu menjadi jawaban atas hadirnya oligarki dalam desa.

(*)

Bagikan
Deskripsi gambar...

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here