
Penulis : Asri Talondo (Aktifis HMI Mamuju)
Ditengah perhelatan pesta demokrasi, Pemilihan Gubernur Sulawesi Barat yang tidak lama lagi akan dirayakan, membuat para tim sukses bekerja keras untuk memenangkan kandidatnya. Tidak terlepas dari para kandidat yang siap untuk berperang membutuhkan persiapan yang matang mulai dari dukungan partai, masyarakat, finansial/post politik, mental yang kuat, terutama tim yang loyal serta Strategi dan Taktik (Stratak) yang siap.
Tak lazim kita melihat ditengah realitas sosial para tim sukses tidak dewasa dalam berpolitik, lihat saja dimedia sosial para pendukung menjelek-jelekan salah satu kandidat bahkan merekapun kerap kali bertengkar dan adu jotos untuk mempertahankan bahwa kandidatnyalah yang baik, bersih, bermasyarakat dan akan menang dalam pemilihan Gubernur Sulbar pada tanggal 15 Februari 2017 mendatang.
Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan pendidikan politik bagi masyarakat dan peranan semua stake holder mulai dari partai politik, Kesbangpol (Pemerintah), LSM, dan para kandidat. Sehingga kualitas demokrasi yang kita harapkan bisa berjalan dengan damai. Setiap perang pasti ada pasukan yang mati dan terluka baik yang menang terlebih yang kalah. Tapi perlu dipahami bahwa politik adalah perang tanpa pertumpahan darah tapi bukan berarti tidak ada korban berdarah dalam setiap perhelatan politik apa lagi terkait pemilihan kepala daerah yang sangat sensitif, emosional bahkan terkadang irasional. Perdebatan sering berujung konflik fisik individu maupun kelompok baik prapilkada maupun pascapilkada bukan hanya konflik antara pendukung tapi juga terkadang penyelenggara seperti Panwas dan KPU yang menjadi sasaran dari kekecewaan pendukung kandidat yang kalah.
Semua pihak yang melibatkan diri dalam pesta demokrasi ini harus siap secara mental karena pembunuhan secara mental lebih kejam dari perang pertumpahan darah. Kenapa demikian banyak orang ketika kalah dalam politik mengalami kerusakan mental, mengasingkan diri, niat balas dendam bahkan rakyat dan daerah pun menjadi korban.
Apa yang menjadi substansi dari demokrasi adalah prinsip kesamaan hak dimata hukum dan pemerintah (negara), musyawarah dan mufakat dalam hubungan antar manusia kemudian persamaan hak asasi manusia. Sesuai dengan karakteristiknya bahwa warga negara (rakyat) harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik baik secara langsung mapun melalui perwakilan mereka.
Demokrasi menurut jonh lock diakui sebagai sebuah sistem dalam kehidupan sistem politik liberal. Secara etimologi liberal berasal dari bahasa latin yang berarti free; tidak dibatasi atau independen in opinion; bebas dalam berpendapat. Kebebasan berfikir tumbuh demikian besar disebabkan oleh adanya pengakuan hak-hak individu untuk mengembangkan kreativitas kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh undang-undang.
Masyarakat menjadikan eksistensi dirinya dengan kebebasan berfikir dan kebebasan individu (individualisme), menjadikan manusia yang egosentris, pragmatis, kapitalis dan sekularisme yang merupakan nilai-nilai setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya. Nilai-nilai itulah yang kemudian membangun semangat bebas nilai dalam kehidupan bermasyarakat.
Akibat dari kebebasan demi kebebasan, melahirkan persaingan yang menang mengendalikan yang kalah dan yang kalah tidak legowo menerima kekalahan. Jiwa manusia terjangkit paham kebendaan (materialisme), nilai-nilai kemanusiaan dan spritual terasing dalam hidupnya. Manusia bagaikan kardus yang indah dan cantik (kado) namun kosong spritual. Demokrasi bebas nilai menjadikan manusia budak-budak kekuasaan untuk memenuhi hasrat birahinya, intelektual hanya menjadi scrup bagi kepentingan penguasa dan pengusaha, agama menjadi alat legitimasi moral belaka bukan sebagai pencerahan. Para tokoh agama berbondong-bondong menjadi penceramah/pengkhotbah dirumah-rumah ibadah sambil memuji kandidat yang didukung. Mungkin benar yang dikatakan Karl Max bahwa agama adalah candu rakyat, mereka berkedok agama dimimbar atas nama kesejahteraan rakyat untuk kepentingan penguasa. Bukan berarti bahwa agama harus dipisahkan dengan politik, tidak demikian karena para nabi juga menyebarkan agama dengan merebut kekuasaan agar lebih mudah menyeberkan syariat agamanya. Politik dan agama ibarat sibuta dan silumpuh. Jika agama tanpa politik akan lumpuh dan politik tanpa agama akan buta. Jika dalam ilmu agama, etika dideskripsikan untuk menerangkan antara kebaikan dan kejahatan, maka dalam perbendaharaan ilmu politik, menguaraikan etika politik berarti menjelaskan dan menegaskan mana tingkah laku politik bermartabat dan mana perangai politik yang tidak santun dan bebas nilai. Dalam disputasi ilmu politik, standar dan tolak ukur kebaikan adalah bagaimana politik diarahkan. Artinya, apakah politik diarahkan untuk kemajuan kepentingan dan kebaikan umum ataukah memajukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Jika politik sudah diarahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu maka, etika politik tersebut dapat dinilai buruk.
Penulis sekeder mengaja kepada masyarakat Sulawesi Barat agar menggunakan hak individunya dalam berdemokrasi, menilai, memilih dan memberikan hak suaranya karena itu dilindungi oleh undang-undang tapi bukan berarti hak individu menghalangi kemerdekaan individu yang lain. Harus ada transformasi besar-besaran tentang aktivitas politik masyarakat yang hanya sekedar keterlibatan dalam memberikan hak suaranya dalam pemilu. Guna menghindari demokrasi yang sarat dengan etika bebas nilai maka salah satu yang yang harus dijadikan atensi kita bersama adalah pemberdayaan masyarakat dalam bidang pendidikan politik. Harapannya adalah supaya tercipta suatu masyarakat yang kritis dalam menyikapi berbagai fenomena politik yang tidak sehat. Agar melahirkan pemimpin yang mementingkan kepentingan rakyat diatas kepentingan kelompok sehingga harapan Sulbar malaqbi bisa tercapai sesuai impian kita bersama. (*)

