Gen Z dan Milenial mewakili 47% pelanggan barang-barang mewah pada 2018, menurut studi perusahaan konsultan Bain & Co. (AP Photo/Mary Altaffer)
banner 728x90

Perilaku belanja generasi Z, generasi yang fasih berselancar di dunia maya, memiliki karakteristik yang khas dibanding generasi-generasi sebelumnya. Mereka cenderung memilih produk yang anti-mainstream dan lebih mudah terpengaruh oleh ulasan masyarakat awam, ketimbang bintang iklan terkenal.

Seiring waktu semakin banyak anak muda generasi Z yang memasuki angkatan kerja. Generasi Z, yang biasa disingkat Gen Z, menurut Kamus Oxford, adalah orang-orang yang lahir pada akhir tahun ’90-an hingga awal 2010-an. Semakin besar porsinya dalam angkatan kerja, semakin besar pula daya beli mereka.

 

Menariknya, generasi yang biasa disebut sebagai digital native karena lahir dan tumbuh besar di era teknologi digital itu, memiliki perilaku belanja yang cukup khas.

Dino Augusto, praktisi pemasaran sekaligus dosen bisnis fesyen yang fokus pada perilaku belanja konsumen di LaSalle College, Jakarta, mengatakan, akses teknologi informasi dan pola hidup selama pandemi berperan besar membentuk perilaku belanja mereka.

“Hari ini mereka ngepost sesuatu, besok viral. Hari ini mereka mau terkenal, sebulan lagi mereka sudah jadi artis,” ungkap Dino.

Karena terlalu lama mendekam di rumah dan terbiasa serba instan, sebagian Gen Z lebih menikmati pengalaman berbelanja tatap muka dengan mengunjungi toko fisik.

“Makanya kenapa brand lokal akhirnya naik, punya toko lagi, karena mereka datang ke tokonya, ngobrol dengan orangnya, kemudian pegang langsung, dan pakai langsung dan dipuji langsung. Itu sebenarnya yang sangat berubah dari generasi yang baru ini,” jelasnya.

Dalam survei nasional tentang peningkatan konsumen Gen Z yang dirilis asosiasi dagang industri pusat perbelanjaan global, International Council of Shopping Centers (ICSC), di Amerika Serikat Juni lalu, meskipun 95 persen responden berbelanja secara daring, 97 persen responden juga berbelanja di toko fisik. Alasannya persis seperti dijelaskan Dino.

Kombinasi kepekaan sosial dan keterbukaan wawasan generasi Z juga membuat mereka memiliki kecenderungan untuk membeli produk dari merek yang mendukung nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip hidup mereka.

“Sekarang brand itu bukan hanya story, brand itu menjadi ‘agama’ mereka,” kata Dino. “Produk itu seperti mereka membeli agama. Ketika mereka percaya sama kepercayaan dari brand tersebut, misalnya LGBTQIA, sustainable, ekonomi sirkular, mereka itu jauh dianggap lebih seksi.”

Dino menuturkan, Gen Z juga lebih menghargai produk-produk dari bisnis dan jenama lokal. Hal itu berakar pada kejenuhan terhadap beragam informasi dan iklan yang dijejalkan kepada mereka, sehingga memicu kecenderungan untuk mencari produk yang anti-mainstream.

“Mereka masuk ke subculture, dan mereka mencari brand-brand di bawah subculture tersebut, sehingga merek indi dan lokal meledak sekali di masa pandemi kemarin, dan juga produk-produk dari teman-temannya sendiri, sehingga (untuk) produk-produk di angkatan mereka sendiri, generasi mereka sendiri, (mereka) jauh lebih apresiatif, karena mereka melihat bahwa dia menemukan keunikan. ‘Saya tidak mau seperti apa yang sudah dipaparkan oleh dunia selama ini.’”

Dalam jajak pendapat ICSC, pemberi pengaruh utama pada perilaku belanja Gen Z bukan lagi publik figur yang mengiklankan produk di dunia maya, melainkan keluarga dan kerabat mereka sendiri (56 persen), ulasan pembeli di situs produk (54 persen) dan ulasan di situs pihak ketiga (47 persen). Influencers bertengger di peringkat kelima (39 persen), setelah pengalaman melihat langsung produk dan interaksi dengan pegawai toko (43 persen). Meski demikian, media sosial terutama Instagram dan TikTok, masih punya pengaruh besar dalam kegiatan belanja mereka secara umum.

Jeremiah Sean Harry Sumolang, mahasiswa S1 tingkat akhir yang bermukim di Jakarta, adalah perwujudan karakter Gen Z tersebut.

“Aku sih lebih senangnya brand lokal, karena mereka punya baju-baju yang enggak mainstream, barang-barang yang enggak mainstream untuk dipakai sama orang lain.”

Ia juga mengaku lebih memilih berbelanja di toko fisik demi pengalaman dan jaminan kualitas produk.

Alasan itu juga yang didapati Gracy Sondang, pendiri dan pemilik jenama perhiasan aksara Jawa lokal Henju by Gracy, yang berbasis di Yogyakarta, atas perilaku belanja Gen Z. Bisnisnya mulai fokus menyasar pasar usia 24-40 tahun di Indonesia sejak tahun 2017, yang berarti selama dua tahun terakhir dua angkatan tertua Gen Z sudah memasuki radarnya.

“(Dia) sudah pernah datang, entah setahun atau dua tahun yang lalu. Jadi dia enggak pernah beli online,” Tutur Gracy menceritakan pengalamannya baru-baru ini melayani pelanggan Gen Z di tokonya. “(Dia) pengin ngelihat langsung, lebih suka (seperti itu). Terus kemarin dia beli bandul rubi di sini, satu (buah). Terus dia tanya-tanya, ‘Ini apa?’, ‘Boleh coba enggak?’, jadi putar-putar (toko) agak lama. Kayaknya dia nyari experience-nya deh.”

Gracy mengatakan, produknya yang paling laku di kalangan muda, termasuk Gen Z, adalah produk bergaya kasual dengan harga yang lebih terjangkau.

Sementara itu, seperti Jeremiah, Clementina Surya Wijaya, perempuan 22 tahun yang sedang menyelesaikan skripsi sambil membantu bisnis keluarganya di Semarang, Jawa Tengah, juga lebih suka mengunjungi toko fisik untuk membeli produk-produk yang ia anggap ‘krusial’. Ia mengandalkan ulasan produk di dunia maya untuk membantunya mengambil keputusan saat berbelanja.

“Sebenarnya aku nggak begitu tertuju ke suatu brand. Biasanya aku lebih memfokuskan ke review-nya dulu. Jadi, misalkan, kalau aku cari barang, contohnya skincare, biasanya aku bakal cari dari review orang-orang, dari internet atau TikTok, kira-kira apa sih yang paling banyak orang review-nya bagus. Baru nanti aku fokusin cek-cek di satu website khusus brand itu, bagus atau nggak,” ujarnya.

Clementina, yang lebih condong memilih produk lokal dan ramah lingkungan, tergolong konsumen yang tidak loyal pada satu merek. Ia suka mencoba produk baru selama ulasannya positif dan meyakinkan.

Meski menghadirkan beberapa dampak positif, Dino Augusto menilai, perilaku belanja Gen Z seperti itu dapat menimbulkan ancaman terhadap industri.

“Loyalitas terhadap sebuah brand atau perusahaan sangat tergantung pada prinsip-prinsip dalam perusahaan tersebut, sehingga mereka (Gen Z) itu gampang selingkuh, mereka tidak terlalu loyal. Loyalty itu sudah bukan jadi komoditas lagi.”

Menurut Sensus Penduduk 2020, penduduk Indonesia didominasi oleh generasi Z (kelahiran 1997-2012), dengan 71,5 juta jiwa (26,46 persen), disusul generasi Milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 69,69 juta jiwa (25,79 persen).

Meski generasi Milenial untuk sementara masih menjadi pasar utama, Gen Z akan berangsur-angsur menjadi prioritas industri dalam beberapa tahun ke depan. Dengan kemajuan teknologi yang mengaburkan batas wilayah serta memperluas dan mempercepat akses informasi, adaptasi industri terhadap perilaku belanja generasi itu menjadi keniscayaan. [rd/ab]

source: voaindonesia.com afiliasi Katinting.com

Bagikan

Comments are closed.