Sosialisasi UU Perlindungan anak di Manado. (*)

Sosialisasi kepada APH dilakukan untuk memberikan sanksi kepada pelaku bukan hanya pidana pokok berupa penjara dan denda, tapi juga pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta tindakan berupa pemberian kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik disertai rehabilitasi.

banner 728x90

Manado, Katinting.com – Kasus kekerasan seksual anak terus meningkat dan melibatkan lebih dari satu pelaku yang justru merupakan orang dikenal bahkan orang terdekat, seperti orangtua, guru, dan teman sebaya.

Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 terkait Perlindungan Anak guna memberikan efek jera serta mengurangi tindak kekerasan seksual terhadap anak di masyarakat.

Dalam siaran pers kepada Katinting.com (Rabu, 21/11), Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Berhadapan Hukum dan Stigmatisasi, Hasan pada Sosialisasi UU Perlindungan Anak di Kota Manado, Sulawesi Utara yang dihadiri oleh 135 peserta dari instansi/lembaga daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat penegak hukum (APH) dan forum anak, menjelaskan, Setelah disahkan, UU tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan aparat penegak hukum. Hal ini dilakukan agar masyarakat mengetahui bila terjadi kekerasan seksual maka pelaku akan diberikan sanksi yang lebih berat lagi.

“Sosialisasi kepada APH dilakukan untuk memberikan sanksi kepada pelaku bukan hanya pidana pokok berupa penjara dan denda, tapi juga pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta tindakan berupa pemberian kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik disertai rehabilitasi,” kata Hasan.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Sulawesi Utara, Mieke Pangkong menyampaikan data menurut P2TP2A Provinsi Sulawesi Utara, bahwa jumlah kasus kekerasan seksual anak pada 2017 mencapai 24 kasus, angka ini meningkat menjadi 34 kasus hingga November 2018. Proses pelaksanaan peraturan terkait Perlindungan Anak juga masih memiliki banyak kendala, baik dalam pendidikan serta minimnya informasi dan pengetahuan yang diakses dan diperoleh masyarakat. Untuk itu pemerintah melalui Dinas PPPA melakukan Sosialisasi Peraturan Kebiri dan Restitusi.

Selain itu, pada acara yang sama Kemen PPPA juga menyosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana yang menjelaskan tentang penyidik, penuntut umum untuk membantu korban mendapatkan restitusi.

Restitusi adalah pembayaran ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana berdasarkan keputusan pengadilan atas kerugian materiil atau imateriil yang diderita anak korban. Anak yang berhak mendapatkan restitusi yaitu anak berhadapan dengan hukum; anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual; anak korban pornografi; anak korban penculikan, penjualan, atau perdagangan orang; anak korban kekerasan fisik atau psikis; dan anak korban kejahatan seksual.

Adapun pihak yang dapat mengajukan restitusi yaitu anak korban, orangtua/wali anak korban atau ahli waris anak korban, orang yang diberi surat kuasa khusus. Pengajuan restitusi, harus memuat identitas pemohon, identitas pelaku, uraian tentang peristiwa pidana yang dialami, uraian kerugian yang diderita dan jumlah restitusi yang diminta. “Tuntutan restitusi bisa diajukan sebelum putusan pengadilan, melalui penyidik, penuntut umum atau LPSK, dan setelah putusan pengadilan yang harus dilakukan melalui LPSK,” jelas Hasan.

Hasan juga berharap melalui sosialisasi ini, bila ada kasus kekerasan seksual anak, penyidik, penuntun umum di Provinsi Sulawesi Utara dapat membantu memberikan informasi kepada pihak korban tentang hak-haknya untuk mendapat restitusi, serta mengupayakan mengajukan tuntutan restitusi melalui pengadilan.

Sumber : *Publikasi Kemen PPPA

Edit : Anhar

Bagikan