Membungkus jenazah pada tradisi kematian di Mamasa adalah salah satu elemen penting pada upacara Rambu Solo, mereka menyebutnya mebalun (membungkus). Proses ini juga sangat memakan waktu lama bisa sehari sampai dua hari, disebabkan rumitnya bungkusan dan jumlah lapisan bungkusan termasuk beberapa pakaian almarhum yang juga diikutkan dalam bungkusan.
Seperti di Kecamatan Tawalian, Mamasa meski sudah menganut agama Kristen, namun ritual upacara Rambu Solo tetap mereka lakukan. Mereka masih memegang teguh kebiasaan leluhur, percaya bahwa kematian tidak akan sempurna tanpa melalui ritual upacara Rambu Solo.
Selama didiamkan di dalam rumah jenazah akan disimpan di dalam peti, jenazah tersebut dijaga oleh dua orang yang disebut To Undataduk Kayu. Dua orang tersebut adalah saudara almarhumah. Selama hampir dua tahun menjaga jenazah, para penjaga tersebut tak bisa meninggalkan lokasi kedukaan. Selama itu juga mereka tidak bisa memakan nasi atau sebut Mero’. Namun saat memasuki ritual Rambu Solo anak dan cucu mendiang akan menjalankan ritual Mero. Mereka baru bisa memakan nasi setelah satu minggu pasca rangkaian upacara rambu solo selesai. Itu pun harus memotong satu ekor babi sebagai syaratnya.
Pada Sabtu-Minggu (13-14/2) Februari, Prosesi Rambu Solo baru memasuki Pangangkaran dan Pebalunan. Pangangkaran atau dikeluarkannya jenazah dari peti untuk dibungkus lalu dihiasi sebelum memasuki puncak acara. Setelah Pengangkaran, baru memasuki prosesi mebalunan atau membungkus jenazah.
Di prosesi pengangkaran ini juga menjadi salah satu puncak kesedihan keluarga yang tinggal. Karena di situ menjadi momen terakhir keluarga melihat jasad jenazah yang semasa hidupnya akrab disapa Indo Tasik Karaeng. Tak lama setelah dikeluarkan dari peti mayat akan datang orang-orang yang dipercayakan untuk melakukan prosesi mebalun.
Prosesi mebalunan terbilang memakan waktu yang cukup lama. Sampai dua hari, hal itu dikarenakan jasad jenazah tak dibungkus seperti pada umumnya. Jasad Yohanna Palangi’ dibungkus dengan puluhan kain. Semua pakaian yang dipakai semasa hidup atau pakaian yang disukai, bahkan ada juga pakaian yang memang disiapkan Almarhumah semasa hidup dibungkus bersama jasadnya.
Selain itu, puluhan kain dan pakaian lainnya juga disiapkan dari anak cucunya juga ikut dibungkus. Puluhan kain yang dipakai mulai dari kain putih, pakaian, sarung, Sambu’ (sarung khas Mamasa), selimut hingga ditutup dengan kain merah yang bentuk balunnya berbentuk bulat lonjong.
Setelah prosesi pebalunan selesai, jasad tersebut akan dibawa ke Tado (teras rumah), selama satu dua hari. Di situ, jasad yang sudah di balun dalam posisi berdiri. Setelah dalam posisi berdiri, balun tersebut kembali ditidurkan dan ditaruh ke dalam Paya (sebuah tempat yang berbentuk rumah adat Mamasa dengan panjang sekira dua meter lebih).
Di situ, balunan jenazah akan dihiasi dengan emas. Selama prosesi Rambu Solo berjalan, balunan tersebut akan ditaruh paya hingga memasuki proses penguburan atau disebut pelamunan, karena pada saat puncak acara Rambu Solo, keluarga dan kerabat akan berdatangan datang melayat.
Upacara Rambu Solo di Kabupaten Mamasa, rutin digelar setiap tahun. Hanya saja untuk mendapatkan informasi pagelaran Rambu Solo sulit didapat. Sebab upacara ini merupakan kegiatan keluarga mereka yang meninggal.
Untuk diketahui, upacara Rambu Solo ini merupakan tradisi yang hanya di lakukan hampir seluruh wilayah Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan.
(Zulkifli)