Foto : Abdul Hakim Madda. (Ist.)

Oleh : *Abdul Hakim Madda

banner 728x90

Sepanjang hari Minggu kemarin udara di Bambalamotu terasa lain. Kalau angin bertiup, ia tak sekedar menyapa kulit dan membungkus tubuh, tetapi langsung menelusup masuk melalui sel-sel, bahkan saya rasakan ada yang bergerombol diantara tulang dan daging.

Saat mandi, jangan ditanya. Air rasanya seperti jarum menusuk kulit.  Jaket tebal yang saya kenakan setelahnya terasa seperti kaos biasa.

Memasuki magrib dingin itu kian menjadi. Sementara lepas Isya malah angin yang bertiup itu semakin jahat. saya merasakan cuaca hari ini di kampungku tidak seperti biasanya.

“Ada apa, ini?”

Tengah malamnya sambil menggigil saya mencoba menenangkan diri. Menelisik ke dalam diri mencoba menggali apa yang terjadi.

“Bos..!”

“Bos..!”

Tiba-tiba muncul suara. Entah dari mana asalnya mengagetkan saya. Semula bunyinya kecil. Kurang jelas seperti orang berbisik. Pelan-pelan membesar dan jelas terdengar. Suara itu tak asing, ia terdengar sangat familiar. Tapi cuaca malam itu mengaburkannya

“Sialan  bikin kaget saja.” Jawabku setelah tahu siapa pemilik suara itu. Rupanya nuraniku mulai bicara.

“Bos, memanggil saya. Ada apa?”

“Nggak ada apa-apa cuma iseng aja.” Jawabku sekenanya

“Ah, bohong. Kalau punya masalah biasanya memanggil saya. Pasti ada sesuatu. Memang ada apa?” dia mendesak tapi tak kupeduli.

“Lo ngomong dong. Jawab apa gitu. Kok diam. Saya balik nih.” Dia terus memburu dan kali ini saya kalah.

“Penyakit kepomu, boleh juga.” Kali ini saya bersuara.

“Ah bos, kayak anak milenial aja. Tahu istilah kepo. Kepo itu bukan penyakit. Kalau Corona, itu baru penyakit.” Jawabnya sambil terkekeh.

Ngomong-ngomong apa pendapat bos tentang Corona. Eh, maksudnya Covid-19?” Tanyanya.

“No koment!”

“Lo lagi booming beritanya. Jangan kuper, ah!” serunya.

“Kan tidak kenal. Terus mau bilang apa?”

“Hahaha!” dia tertawa.

“Lo iya kan coba liat sekarang banyak orang jago. Memberi komentar ini itu seperti pakar kesehatan. Padahal kenal saja tidak. Saya gak mau seperti mereka.”

“Wuiih..hahaha” dia kembali tertawa.

“Eh, gak beli masker, bos? Dengar-dengar toko obat depan pasar Martajaya stok maskernya sudah habis di borong orang perusahaan. Apotek-apotek di Pasangkayu malah lebih duluan habis. Curiganya di Palu juga gitu”

“Buat apa?”

“ya buat di pakailah. Siapa tau nanti bos butuh dan stok maskernya kosong kayak di kota-kota.”

“Kalau masker habis pake kain aja. Atau sekalian topeng. Malah bagus lebih solid.”

“Bos bisa aja. Serius dong!”

“Aku gak main-main. aku serius.”

“Tapi kan gak praktis bos. Juga gak sesuai anjuran WHO.”

“itulah karena terbiasa ingin praktis kita lupa yang substantif. Lupa akal sehat kita.”

“Maksudnya?”

“Coba ingat, pada hakekatnya fungsi masker kan menjaga agar jangan sampai virus masuk langsung ke dalam tubuh lewat saluran pernafasan. Masker bisa di ganti kain. Kalau perlu pakai sprei saja.”

“Hahaha” Dia terbahak lagi.

“Alhasil karena mengingat praktisnya. Orang banyak membeli masker sampai barangnya langka di pasar. Cari masker sekarang seperti KPK mencari buronan Harun Masiku. Susah sekali.”

Kulihat dia tersenyum.

“Menghadapi Corona jangan panik. Kita merujuk saja pada hakikat asal usul, segala sesuatu pasti ada awal ada akhirnya. Termasuk virus ini. Saya yakin suatu saat akan ada penangkalnya. Di China sudah banyak yang sembuh. Ikuti saja yang mengerti dan di percaya menangani kasus ini. Ikhtiarlah pokoknya.”

“Bos kayak tukang khotbah. Jadi?”

“Karena sudah ikhtiar, urusan hidup-mati bukan urusan kita lagi. Itu urusan yang diatas. Yang penting ada satu yang tak boleh mati. Akal sehat kita. Akal sehat harus jadi mercusuar”

Tiba-tiba..

“Malam bos.”

“Bos memanggil saya?”

Kembali terdengar suara asing. Kali ini lain dari yang sebelumnya.

“Wah, panjang ini bisa begadang semalaman. Sepertinya akal sehat juga mau gabung. Harus segera diakhiri. bos.” Kali ini batin sayalah yang berbisik.

Ku iyakan bisikan itu. Saatnya memang segera beristirahat. Cuaca pun tak sedingin tadi. Jaket kutanggalkan lalu melangkah ke peraduan. Sebaiknya segera kucari kehangatan lain disana.

 

*Penulis: Warga biasa menetap di Pasangkayu.



Bagikan