Laporan : *Fhatur Anjasmara, Surakarta, Jateng
Meski kemudian, panitia dari Dewan Pers mengingatkan peserta penyegaran dan pelatihan Ahli Pers, yang dilaksanakan di Monumen Pers Nasional, bahwa materi perdana, Jumat (11/06) akan dimulai pada pukul 08.00 WIB. Namun karena sebagian peserta mengetahui bahwa materi ke 6 yang rencananya akan dibawakan oleh Bambang Soesatyo berjudul Kenapa Pers Harus Dilindungi Negara, dipastikan belum terkonfirmasi oleh pemateri, maka sebagian peserta akhirnya tak konsisten dengan jadw untuk materi perdana.
Karena itu, materi ke 5 atau materi perdana Jumat, pematerinya yang menghadirkan Wakil Ketua Mahkamah Agung, DR. H Andi Samsan Nganro, SH, MH, berjudul Arah Perlindungan Hukum Kemerdekaan Pers dan Pentingnya SEMA No.13 Tahun 2008, mulur sampai sejam baru pemateri dapat memulainya.
Namun konsekuensinya, adalah pemateri dari MA ini, juga mengambil waktu sebagian dari materi berikutnya, kurang lebih sejam, untuk sesi tanya jawab.
Pria kelahiran Wajo, Sulsel 68 tahun yang lalu ini, menyampaikan bahwa Mahkamah Agung, lewat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.13 Tahun 2008 adalah bentuk penghormatan dalam upaya penegakan Kebebasan Pers dan Kemerdekaan Pers di Indonesia, yang saat ini menghadapi banyak persoalan dalam pelaksanaan kerja kerja pers.
Karenanya, bagi MA, melalui SEMA No.13 Tahun 2008 tersebut, diharapkan kebebasan dan kemerdekaan pers di Indonesia maki membaik dan tegak, dalam memperjuangkan kebenaran publik. Katanya, ada banyak kasus sengketa pers saat ini, yang memperhadapkan antara wartawan dengan narasumber dengan tudingan pencemaran nama baik, atau dengan lembaga penyelenggara pers dengan penguasa.
Untuk itu, melalui SEMA ini, diharapkan mampu menjadi sarana utama dalam mendapatkan penyelesaian sengketa pers yang terjadi, dengan memberikan penegasan bahwa semua sengketa pers yang terkait dengan kerja kerja pers, ranah penyelesaiannya melalui Dewan Pers, bukan melalui peradilan pidana umum atau perdata.
Karenanya semangat atau inti dari SEMA 13 Tahun 2008 inj, adalah mengajak melalui komunikasi, kepada majelis hakim dan penyidik, melalui keterangan ahli pers dalam kesaksiannya, untuk dapat meyakinkan penyidik dan majelis hakim, dapat memahami seluk beluk pers dan sesuai dengan etika serta kode etik jurnalis, dan aparat hukum sangat penting mendengarkan keterangan ahli dalam kesaksiannya, dan ini harapannya kedepan kiranya Dewan Pers terus melatih dan merekrut tiap orang yang bisa memahami kerja pers, untuk dilatih yang akan dimandatkan delegasi mewaki dewan pers disebuh pemberian keterangan.
Pada Materi ke 6 sedianya di bawakan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, yang sedianya akan membawakan materi via daring berjudul Seberapa Penting Kebebasan Pers Dilindungi Negara. Karena sesuatu dan lain hal,akhirnya Bambang Soesatyo tak memanfaatkan waktunya menghantarkan materinya, sehingga materi bagi peserta penyegaran dan pelatihan ahli pers, dilanjutkan ke materi ke 7, dibawakan oleh Bambang Sadono, salah seorang bagian dari penyusun UU Pers No.40 Tahun 1999 juga mantan anggota DPD RI.
Bambang Sadono, menyoal peradaban kemerdekaan pers selama ini, dengan menggores judul materi Perlindungan Wartawan dalam Konsep UU Pers No.40 Tahun 1999, dimana dalam pendangannya bahwa negara ini telah menegaskan secara eksplisit politik media yang diletakkan dalam Pasal 28 UUD 1945 lalu melalui amandemen kedua UUD 1945, lebih dipertegas lagi dalam Pasal 28 F, dan itu telah terurai dalam UU Pers itu sendiri, yang menyandang semangat agar pers tidak berada dibawah kendali pemerintah atau kekuasaan, dan tekanan pihak tertentu, sehingga kemerdekaan dan kebebasan pers itu sendiri, melindungi wartawan dalam kerja kerja kewartawanan, sekaligus melindungi masyarakat dalam pemenuhan hak informasi publik.
Untuk itu, seiring waktu dan perubahan yang begitu cepat, Ia berharap kiranya lembaga kewartawanan juga harus memiliki ahli hukum, yang dilibatkan dalam pembuatan berita, sehingga dari awal produk jurnalistik sebuah media sudah memiliki kuawalitas yang mempuni dan berimbang, karena persepsi hukum dalam karya tersebut sudah dari awal dicermati, dan kedepan juga Dewan Pers juga mesti mendorong semua media untuk menyiapkan ahli hukum, sehingga dari awal juga ahli pers mendapatkan penjelasan secara hukum dan runut sebuah produk jurnalistik, dan mesti diketahui juga,wartawan itu memiliki hak untuk dilindungi hak hak hidupnya.
Pasca materi Bambang Sadono, kemudian dilanjutkan dengan materi kesembilan oleh Wina Armada Sukardi, berjudul Strategi Ahli Pers di Persidangan, Pengalaman dan Problematikanya, kesempatan ini, Wina, menjelaskan bahwa seorang Ahli Pers mesti memberikan keterangan yang sesuai tanggungjawabnya sebagai Ahli Pers, sebab dipengadilan baik Jaksa maupun Majelis Hakim, menguji pemahaman kita sebagai ahli pers, dengan mengajukan pertanyaan yang dibolak balik, untuk melihat konsistensi kita dalam menyampaikan pendapat.
Materi selanjutnya adalah materi yang disampaikan oleh Bambang. Soesatyo Ketua MPR RI, yang sempat pending pda Jumat pagi kemarin, baru mendapatkan kesempatan Jumat malam.
Judul yang disampaikan oleh Bansoet nama enteng panggilan Bambang Soesatyo, adalah Pentingnya Negara Melindungi Kebebasan Pers, dalam ulasan materinya yang disampaikan lewat daring, Ia memaparkan angka peningkatan dan kemajuan kebebasan pers di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, sekalipun kemudian juga realitas dilain sisi, peningkatan indeks perbaikan kebebasan pers dan kemerdekaan pers ini, masih rendah secara nasional.
Namun Ia meminta kepada semua aktivis pers dan stakeholder pers, untuk tak berhenti terus menerus melakukan secara intens komunikasi kepada Kapolri dan Panglima TNI, sehingga setiap perkara pers tidak menjadi kewenangan dari institusi tersebut, tapi terbangun kesepakatan antar lembaga ini, dalam perbaikan dan peningkatan kebebasan pers di Indonesia. Karena peranan pers yang merdeka dan independen adalah keniscayaan, melindungi pers harus kita maknai sebagai melindungi demokrasi.
Usai Bansoet dengan materinya, selajutnya panitia menghadirkan seorang ahli pidana pers, yakni Prof DR. Syaiful Bakri, SH, MH, dengan materi berjudul Pertanggungjawaban Pidana dan Azas Praduga Tak Bersalah dalam Delik Pers, dikesempatan ini, Ia menyoroti soal delik pidana pers yang banyak dijumpai akibat sengketa pers antara penerbitan atau wartawan dengan objek pemberitaan.
Ia membeberkan, bahwa delik pers dalam arti sempit adalah objek berita yang disampaikan
kepada umumdalam bentuk tertulis dan dihasilkan terutama oleh alat percetakan serta delik pers dalam arti luas, yaitu selain menyampaikan berita objek dengan tulisan, juga secara lisan melalui media pemancaran dan/atau sarana transmisi. Sehingga unsur unsur pokok yang harus ada pada delik pers adalah perbuatan menyampaikan berita yangobjeknya adalah barang cetakan dan bersifat melawan hukum serta isi berita itu telah dipublikasikan sehingga diketahui oleh khalayak umum.
Delik pers bukanlah suatu kualifikasi tindak pidana undang-undang seperti pencurian, pembunuhan, dan sebagainya, melainkan suatu sebutan terhadap berbagai (kelompok) tindak pidana yang dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan berita dengan melalui tulisan (terutama hasil cetakan) yang tertuang dalam berbagai peraturan baik di dalam KUHP maupun di luar KUHP.
Pertanggungjawaban pidana dalam delik pers adalah dibebankan pada redaktur dengan pengecualian, apabila pemilik tulisan atau barang cetakan yang menyuruh dan mencetak (dalam hal ini redaktur) tidak dapat ditangkap dan dilakukan penyidikan terhadapnya (sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat 2 dan Pasal 62 ayat 2 KUHP), maka penerbit dan pencetaklah yang dibebani pertanggungjawaban pidana atas isi yangmengandung sifat melawan hukum itu dan juga apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diatur Pasal 18 Ayat (2) dan (3) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka pembebanan pertanggungjawaban pidana delik pers adalah pada perusahaan Pers.
Sementara materi terakhir pada Jumat malam tadi, adalah berjudul Hukum Telematika dan Pers, oleh DR Edmon Makarim, S.Kom, SH, LL.M, salah seorang pakar telematika dan menjadi salah seorang tenaga ahli IT disalah satu intitusi negara, pemateri terakhir hanya memberikan perbandingan antara klausul pasal perpasal antara UU ITE dengan UU Pers, dan KUHPidana. (*)