
Oleh : Muslimin.M
Bu Rita seorang ASN yang sangat aktif di media sosial, sering memberikan “like” pada postingan calon kepala daerah. Suatu hari, dia dipanggil oleh atasannya. Atasan, “Bu Rita, kenapa engkau memberikan like pada salah satu calon tertentu ?”,Bu Rita, saya kira postingan lucu pak, soalnya wajahnya diedit jadi meme, saya pikir hanya candaan,” Atasan, “tapi engkau juga memberi komentar ‘setuju’ pada status politik dicalon tersebut.” Bu Rita, ” itu karena saya setuju dengan tata bahasa yang digunakan pak, bukan dengan isi pesannya,” Atasan, “Bu, kita harus hati-hati di media sosial, ASN di larang berpolitik.” Karena bisa merepotkan kita nanti. Cerita ini mengingatkan kita khususnya kepada ASN tentang pentingnya netralitas dalam setiap pilkada, apalagi saat berada di ruang media sosial.
ASN seringkali dihadapkan pada dilema, antara tuntutan profesionalisme atau mau bermain “kucing-kucingan”dari berbagai godaan politik yang dapat memengaruhi netralitas dan integritasnya. Yang profesional akan tegak lurus dengan aturan, dan biasanya model ASN seperti ini tidak terlalu menghiraukan hiruk pikuk pilkada, sibuk dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai ASN, dan baginya tidak begitu penting siapapun yang menjadi kepala daerah. Lain halnya dengan ASN yang bermain “kucing-kucingan” kebalikan dari yang profesional tadi, bahkan kadang lebih “berani” menantang arus, demi sesuatu yang dijanjikan, atau mungkin karena kepedean ada si bapak di belakangnya. Dari kondisi itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa ASN itu wajib profesional, harus loyal pada negara sebagai abdi negara yang dibayar oleh negara untuk melayani rakyat. Jikapun ada katakanlah “permintaan” dukungan politik dari calon tertentu mesti berani mengabaikannya, sebab tatanan birokrasi dalam negara ini akan rusak jika ASN tidak berdiri pada posisi netral sebagaimana perintah konstitusi.
Tetapi saya meyakini bahwa sebetulnya para ASN itu faham dan sangat memahami aturan main tentang dirinya dalam ruang politik, seaktif apapun pemberitahuan dan himbauan berupa sanksi kepada mereka tetap ada saja yang “nakal”, mengapa hal itu bisa terjadi ?, ASN kurang memahami tentang prinsip-prinsip sebagai ASN, karena tidak faham tentang itu, maka jadilah dia tidak patuh, dan kondisi inilah yang banyak menimpa ASN (oknum). Jika sudah menjadi ASN maka jadilah ASN yang benar, yaitu ASN yang bukan hanya faham pada aturan normatifnya saja, tetapi memahami dengan hati prinsip-prinsip sebagai abdi negara yang hanya loyal pada negara, ikhlas melayani rakyat sebagai prinsip dasar dalam pengabdian pada negara.
Netralitas ASN dalam pilkada adalah prinsip yang menuntut agar pegawai negeri atau tenaga kontrak yang bekerja di pemerintahan tetap netral dan tidak memihak kepada salah satu kandidat atau partai politik selama proses tahapan pilkada sampai selesai tahapannya. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan profesionalisme ASN serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau sumber daya pemerintah untuk kepentingan politik dan calon tertentu. Dalam konteks ini tentu kita sepakat, bahwa ASN harus mampu mengendalikan syahwatnya dalam bermain “mata” dengan calon tertentu, harus mampu menjaga dirinya dari godaan yang menggiurkan dari calon tertentu, pendek kata ASN harus tutup mata, tutup telinga atas janji-janji manis dari calon tertentu. ASN bangunlah kepercayaan masyarakat terhadap dirimu sebagai abdi negara, jagalah lembaga pemerintah sebagai tempatmu mengabdi, maka dengan begitu masyarakat akan lebih bangga padamu dan bahkan memberi apresiasi.
Birokrasi politik
ASN dalam birokrasi politik bisa bermakna baik dan penting, bisa juga bermakna tidak baik dan tidak penting, tergantung dari sudut mana kita memahaminya. ASN adalah bagian integral dari struktur pemerintahan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan implementasi kebijakan pemerintah yang dilaksanakan pemimpin politik. ASN bertanggung jawab untuk menjalankan fungsi administratif yang membantu pemerintah dan memastikan bahwa program program dan layanan publik disampaikan dengan baik kepada masyarakat, normatifnya seperti ini, apakah kita yakin hal normatif begini akan berjalan normal ?.
Hal yang normatif menjadi tidak normal bukan karena ASN tidak mampu, tetapi kadang patronase politik menjadi pilihan cerdik dan nekad bagi ASN dalam meningkatkan kariernya sehingga dirinya menjadi seolah tidak mampu, hal ini tentu bisa membahayakan kedudukan bagi ASN itu sendiri jika tidak patuh pada aturan dan kode etik yang sudah digariskan oleh pemerintah, meskipun demikian tetap saja ada yang nekad dan cenderung memanfaatkan ini dengan mendukung atau berpihak pada politik yang memberi patronase tersebut, walaupun disadari bahwa itu bisa membahayakan status dirinya sebagai ASN, dan fakta sosialnya sulit terbantahkan bahwa betapa ASN kadang outside.
Seperti apa itu Birokrasi Politik ?. Birokrasi politik bisa kita maknai secara sederhana adalah suatu kondisi dimana pejabat birokrasi dipilih atau diangkat berdasarkan afiliasi politik atau hubungan politik, bukan berdasarkan kualifikasi profesional dan meritokrasi. Karakteristiknya seringkali mengutamakan loyalitas politik diatas kompetensi teknis dan profesionalisme. Dan biasanya model ASN seperti ini begitu sibuk atau sibuk sendiri dengan agenda politik tertentu dari pejabat tertentu pula atau “asal bapak menang dan saya pun senang”.
Dampak dari birokrasi politik dapat menyebabkan penurunan efesiensi dan efektivitas dalam pelayanan publik, serta meningkatkan resiko terjadinya korupsi dan nepotisme. Kondisi selama ini tidak terbantahkan, sudah berapa banyak pejabat eselon yang terjerat kasus hukum, baik itu korupsi maupun penyalahgunaan jabatan untuk orang lain, saya hanya heran dan kadangkala bingung sendiri menyaksikan realitas yang menyedihkan ini.Tetapi ada juga orang berpandangan bahwa birokrasi politik sah-sah saja sepanjang itu tidak memotong hak orang lain dan dianggap mampu menjalankan tanggung jawab pimpinan, dan memudahkan kebijakan pimpinan, entah ini hanya alasan pembenaran atau hanya alibi untuk menutup kekeliruan tersebut, karena sesungguhnya patronase politik tidak terhindarkan dalam dirinya.
Dalam konteks tersebut, dapatlah kita mengerti bahwa netralitas ASN dalam pilkada serentak tahun ini haruslah tetap terjaga, tidak boleh menggunakan posisi atau sumber daya pemerintah untuk mendukung kandidat atau calon tertentu. ASN harus patuh pada undang undang serta memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pemilu juga mematuhi undang undang. Dengan prinsip begitu, maka kita meyakini bahwa pilkada tahun ini tidak akan ada pelibatan atau sengaja melibatkan para ASN baik secara terbuka apalagi sembunyi-sembunyi.
Meskipun kita agak ragu tentang ini mengingat mentalitas ASN (oknum) kadang masih labil, kadang bersemangat, kadang pula tiba-tiba lemas, tetapi kita tetap meyakini bahwa ASN tetap semangat dan berdiri diatas landasan undang-undang, tidak abu-abu. ASN harus berada di semua golongan dan kepentingan, siapapun yang terpilih dalam pilkada sebagai kepala daerah, maka dialah pimpinan yang harus dibantu dan didukung karena sejatinya ASN adalah abdi negara dan pelayan rakyat, ada karena rakyat, bukan karena kepala daerah. (**)


Comments are closed.