

Mamuju, Katinting.com – Persoalan yang diakibatkan oleh produk legislasi dan regulasi yang terkait penguasaan tanah diwilayah pesisir dan pulau pulau kecil yang berdampak pada kemakmuran nelayan.
UU No. 1/2014 tentang perubahan UU No. 27/ 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (UU PWP3K) telah memberi peluang bagi Penanaman Modal Asing dan pembangunan infrasturktur yang berorientasi pada Utang Luar Negeri diwilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
Mandat konstitusi didalam UU No. 1/2014, konsep HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir), diganti dengan konsep izin lokasi dan izin pengelolaan.
Terkait masalah tersebut Pimpinan Kota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Mamuju bersama dengan KIARA (Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan) melaksanakan dialog beberapa waktu lalu yang dihadiri oleh Anggota DPRD Sulbar, Sukri Umar dan Pihak Biro Hukum Sulbar, yang disayangkan tidak dihadiri oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulbar.
Dalam dialog tersebut, yang harus menjadi perhatian oleh para pemangku kebijakan adalah alasan Mahkamah Konstitusi menghapus HP3, yaitu, hilangnya hak tradisional yang bersifat turun temurun, tidak mungkin masyarakat dapat HP3 karena kekurangan modal, mengakibatkan pengkavlingan dan privatisasi, mengancam kehidupan nelayan, dan menimbulkan diskriminasi secara tidak langsung.
Dari pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dilihat bahwa yang hendak dilindungi oleh konstitusi adalah hak nelayan dan masyarakat perdesaan pesisir, kedaulatan negara dan kesadilan sosial diwilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
Menurut pendapat mahkamah konstitusi bahwa penguasaan oleh Negara atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya harus juga memperhatikaan hak hak yang telah dijamin oleh konstitusi, misalnya, hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat, hak hak perseorangan, hak masyarakat hukum adat serta hak masyarakat nelayan tradisional dan nelayan kecil, hak badan usaha, serta berlakunya kearifan lokal yaitu nilai nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 9 ayat 5 UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil sebagaiman telah diubah dengan UU No. 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu menetapkan peraturan daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.
Kemudian pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 2017 tentang RZWP3K, namun kalau kita cermati dalam peta alokasi ruang dalam perda tersebut, ternyata alokasi ruang untuk zona pemukiman dibeberapa kabupaten di wilayah pesisir Sulawesi Barat dan termasuk kota Mamuju tidak tercantum dalam peta tersebut, jelas Suyuti, Pimpinan Kota FPPI Mamuju kepada Katinting.com.
Sambung Suyuti, namun kenyataannya, wilayah pesisir Sulawesi Barat merupakan pemukiman padat penduduk yang dihuni oleh nelayan dan masyarakat perdesaan pesisir lainya.
Masih kata Suyuti, pertanyaanya, apakah perda RZWP3K No.6 tahun 2017 Sulawesi Barat memperhatikan UU No. 7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam atau Perda tersebut merupakan regulasi yang mengancam terhadap hilangnya ruang hidup nelayan dan tergusurnya masyarakat pesisir dari tempat tinggalnya?
Sehingga pada forum diskusi publik ini kami dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) bersama dengan KIARA (Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan) akan melayangkan gugatan secara nasional untuk yudicial eksekutif terkait perda No 6 tahun 2017 RZWP3K, imbuhnya.
(Anhar)

