Wakil Bupati Mamuju Tengah H Muh Amin Jasa, saat berada diruang kerjanya. (dok Fhatur Anjasmara)
banner 728x90

WAKTU masih menunjukan pukul 08:45 pada Rabu (03/05), saat laman ini tiba di ruang tunggu dari ruang kerja Muh Amin Jasa, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Mamuju Tengah.

Mungkin tak banyak dari pembaca yang mengetahui bahwa jauh sebelum dirinya di dapuk menjadi Wabup Mamuju Tengah yang sudah memasuki dua periode saat ini, Muh Amin Jasa, memulai karir pegawai negeri sipilnya, sebagai tenaga pendidik, yang awal karirnya sebagai guru di mulai dari tahun 1977 tepatnya 46 tahun yang lalu.

Ia mendapatkan penempatan tugas sebagai tenaga pendidik di SD Tobadak, sebelum kemudian menjejaki beberapa jabatan penting dilingkup Dinas Pendidikan Kabupaten Mamuju (baca sebelum Mamuju Tengah terpisah dari induknya).

Untuk itu, di momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2023, laman ini meramu liputan khusus pandangan Muh Amin Jasa terhadap perbedaan prilaku dan kualitas pendidikan di masa Ia masih menjadi guru dengan era sekarang. Berikut petikan wawancara laman ini, Fhatur Anjasmara dengan Muh Amin Jasa.

+ Bisa bapak ceritakan, apa pengalaman bapak, sebagai tenaga pendidik beberapa puluh tahun yang lalu ?
Kalau bicara pengalaman kami, saat kami masih menjadi tenaga pendidik beberapa puluh tahun lalu, sangat banyak perbedaan dari kondisi yang kami alami, di masa lalu, dengan para tenaga pendidik di masa kini.
Di masa kami, dulu, semua serba sulit, menjadi tantangan yang sangat luar biasa, karena jangankan melihat kendaraan roda dua, sebagai alat transpotarsi kami ke tempat mengajar, mendengar suara mesin katinting pun juga tidak ada, sebab itu, kami harus mendayung perahu dari Mess Babana, ke Tobadak, sebab saya di tugaskan mengajar di SD Tobadak, bayangkan, kami biasa menginap di jalan, tidak pulang pergi, dan saya diangkat menjadi guru 1 Januari 1977

+ Sungguh luar biasa tantangan yang bapak alami, demi mencerdaskan anak bangsa kala itu, apa sih motivasi terbesarnya pak, menghadapi tantangan itu ?
Kami memegang prinsip, bahwa keadaan kala itu, tidak akan selamanya seberat itu tantangannya, akan ada masa waktu, tantangan itu, terlewatkan, meski tidak terpungkiri juga, ada beberapa guru sejawat saya, yang mundur ditengah jalan, karena kesulitan yang kami hadapi, bukan hanya soal akses dari dan ke sekolah tempat kami mengajar, namun kesejahteraan kami juga sangat memprihatinkan, tidak jarang gaji kami tiga bulan, hanya di panjar satu bulan, selebihnya harus ditunggu dalam waktu lama, sehingga di tengah kesulitan itu, bagi sejawat saya yang bisa memanjat pohon kelapa, maka dia menggunakan kemampuan itu, mencari penghasilan tambahan, yang bisa memancing, yang ke laut jadi nelayan, saya masih bersyukur, karena saudara saya, kala itu, ada yang ikut membantu keuangan kami, karena bisa di bayangkan, gaji yang kami terima, untuk membeli kaian dinas pun kami tidak cukup, dan saya rasakan hingga tahun 1980. Jadi kalau ditanyakan apa motivasinya, maka saya percaya keadaan kala itu akan berubah, dan niat yang tulus kami punya, bahwa menjadi guru itu adalah pengabdian yang mulia.

+ Tadi bapak menyampaikan bahwa ditengah kondisi tantangan yang cukup berat, saat bapak menjadi guru di SD Tobadak, ada rekan sejawat bapak mengundurkan diri, lalu mengapa bapak tidak terpengaruh dengan alasan mereka, atas kondisi yang cukup berat itu ?
Ya kondisi saat itu memang susah, jadi saya memahami rekan sejawat saya yang mundur atas kondisi yang mereka hadapi, tapi saya saat itu, punya tekad, yang kemudian didukung oleh kondisi personal saya belum pernah punya beban, saudara saudara saya, masih ikut membantu meringankan beban saya kala itu, sehingga tidak cukup alasan menggugurkan tekad saya, untuk mundur sebagai pengajar, karena saya menilai dengan niat yang tulus, saya harus melaksanakan tugas mengembang amanah menjadi guru saat itu, sebagai tanggungjawab pengabdian.

+ Lalu kapan, sampai kapan bapak merasakan dan mengalami kondisi yang sangat sulit tersebut, selama menjadi guru di SD Tobadak ?
Jadi awal tahun 1980, saya mendapatkan kesempatan untuk belajar ke jenjang lebih tinggi, sehingga saya memutuskan lanjut pendidikan ke IKIP Ujung Pandang (baca sekarang UNM), berkat dorongan sejumlah kerabat saya, maka Maret 1980, saya tinggalkan tempat mengajar saya, dan melanjutkan pendidikan dengan bekuliah di Makassar, dan berkuliah selama lima tahun, usai kuliah, saya kembali lagi ke wilayah ini tahun 1985, menekuni profesi sebagai guru, namun dalam tugas yang baru, sebagai Kepala Sekolah di SD Salubiro, satu tahun kemudian usai jadi Kepala Sekolah, saya di angkat jadi penilik SD sekecamatan Budong budong (baca pengawas saat ini), jadi mulai saat itu saya meninggalkan profesi mengajar tapi tetap menjadi guru namun berkecimpung di kantor.

+ Kapan guru di wilayah ini, mulai merasakan harapan kesejahteraan yang menjanjikan, terbilang tahun 1977 ?
Jadi sejak tahun 1977 itu, guru baru bisa merasakan dan menikmati harapan kesejahteraan yang terus membaik, yakni tahun 1985, karena beberapa perubahan kebijakan kala itu, menjadi pendukung peningkatan kesejahteraan para guru. Termasuk kemudian sarana transportasi sudah mulai ada yang menarik.

+ Kalau demikian apa benang merahnya yang mesti ditarik, perbedaan antara guru zaman dahulu dengan guru zaman sekarang yang sudah ditopang oleh sarana prasarana yang memadai ?
Jadi benang merahnya itu ada pada semangat dan niat pengabdian seorang guru, karena saya tak perlu menyatakan bahwa guru di era saya dulu lebih bagus dari guru di era hari ini, karena ini soal semangat saja, namun saya tentu akan menyampaikan pernyataan bahwa semangat guru di era saya puluhan tahun yang lalu, tentu jauh lebih baik semangatnya, karena bisa di lihat dari niat dan kemauan mereka melewati tantangan yang cukup berat di waktu lampau, dengan berbagai keterbatasan. Tapi kami tetap melaksanakan tugas, mencerdaskan anak bangsa, kalau nawaitu kita mau mengabdi, tentu kita akan lewati tantangan itu.

+ Ada pandangan di masyarakat seperti ini, bahwa guru dahulu itu, mencetak generasi yang memiliki dua kecerdasan yakni kecerdasan otak dan kecerdasan emosional, dibandingkan dengan guru saat ini, dominan hanya mencetak kecerdasan otak, padahal kalau bicara sarana dan prasarana termasuk kesejahteraan, guru sekarang bisa melampaui mencetak generasi yang memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa, padangan bapak soal ini apa ?
(dengan sedikit tersenyum dan melempar tawa, ia memulai bercerita) Saya mau bilang apa ya ?, tapi itu mungkin karena di era saya dahulu, sebagai tenaga pendidik, tidak sesering mungkin terjadi perubahan kurikulum, berbeda saat ini, hampir setiap saat terjadi perubahan kurikulum, tapi saya tak ingin mengatakan bahwa guru sekarang tidak baik, justru guru sekarang jauh lebih baik, namun itu tadi, persoalannya adalah pada perubahan kurikulum yang hampir setiap saat di lakukan, sehingga belum di rasakan dan disaksikan hasil dari kurikulum A tak lama kemudian, muncul kurikulum B, dan itu saya perhatikan nyaris sering terjadi. Sementara kami dahulu, hampir tak pernah terjadi perubahan kurikulum. Belum kemudian pengaruh teknologi yang begitu cepat, yang langsung diterima oleh generasi kita.

+ Bagaimana dengan rentetan kebijakan yang menggerakan sistem pendidikan kita, mulai dari UU sampai Peraturan Menteri, justru cukup liberal, sehingga justru aturan itu mencerabut prinsip ketegasan para pendidik dalam mendidik generasi, karena mereka takut ancaman pidana kekerasan terhadap anak misalnya. Apa pendapat bapak ?
Iya itu kami akui, guru saat ini kehilangan ruang ketegasan dalam mendidik, karena apa apapun kemudian yang di anggap menyakiti fisik muridnya, itu masuk dalam ketegori pidana dan guru maupun sekolah bisa dituntut soal itu, padahal sikap tegas itu sangat penting dimiliki seorang guru, dalam rangka membentuk karakter anak, karena guru memiliki dua fungsi, sebagai pengajar dan sebagai pendidik, mengajar berkaitan dengan mengisi otak generasi, sementara mendidik berkaitan dengan mengisi batin anak anak didiknya yang terkait dengan perubahan karakter anak didik, dan kita bisa saksikan saat ini, dominan guru, hanya mengajar, menyelesaikan tunai tugasnya, peran mendidiknya tergerus, karena perubahan aturan yang bisa berujung kriminalisasi ke guru.

+ Jika demikian, apa yang pesan bapak di momentum Hardiknas ini, terhadap para guru, dalam rangka kemajuan pendidikan kita ke depan ?
Pesan saya, guru harus menjaga komitmen moral mereka sebagai pendidik, itu jangan mereka hilangkan, guru harus percaya diri bahwa dengan menjadi guru, mereka sedang melaksanakan tugas mulia dalam mencetak generasi yang berkualitas, dan harus dipahami guru itu berbeda dengan profesi lainnya, karena guru maka profesi lainnya, bisa berjalan, karena para gurulah yang mencetak SDM di berbagai profesi yang ada. Guru jangan merendahkan profesinya sendiri. (**)

Bagikan
Deskripsi gambar...

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here