Oleh : *Agrian Ilham
(Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang)
DPR RI tidak memandang Pandemi COVID-19 sebagi penghalang untuk melanjutkan pembahasan suatu RUU, setelah kemarin selasai mengesahkan UU Minerba secara diam-diam, saat ini muncul lagi RUU bermasalah.
Indonesia kembali diguncang dengan RUU bermasalah, ini menjadi pembahsan yang lagi naik dimasyarakat. Terutama pada kalangan ormas Islam, mulai dari PP Muhammadiyah, GP Ansor hingga FPI. Ini cukup menaraik perhatian mata publik, karena Gerakan ormas islam yang biasanya jarang kita lihat melakukan penolakan terhadap suatu RUU namun dalam permasalahan ini terlihat seperti kumpulan robot yang dihidupkan secara bersamaan oleh pemiliknya. Mengapa hal ini ibarat menjadi hal yang sangat wajib untuk menjadi pembahasan pada kalangan ormas Islam.
Secara draft, tujuan dari RUU ini ialah “Tujuan Pancasila adalah terwujudnya tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, serta berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” (Draft RUU, Pasal 5). Dari penjelasn secara draft tersebut seakan mempelihatkan bahwa ingin terciptanya kesejahteraan dan keadilan yang dijanjikan dalam Pancasila, yang selama ini masih belum bisa kita lihat tampak jelasnya.
Namun mengapa ada yang masyarakat yang menolak dengan tujuan yang mulia tersebut? tentu tidak diperlukan suatu alasan khusus untuk menjawab itu. Kita tahu bahwa manusia memiliki kebenaran subjektif mereka masiang-masing, yang bila mana menurut kita baik namun menurut orang juga baik. Pasti akan ada perbedaan yang tercipta dalam dinamika tersbut, dan hal tersbut sangat wajar di negara demokrasi tercinta kita.
Ormas Bersuara
PP Muhammadiyah dengan alasan yang disampaikan oleh ketua umumnya mengatakan bahwa “Di dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945, khusunya pada Bab III [Pasal 5, 6, dan 7] (tirto.id,2020). Sementara untuk FPI, mereka berangkat atas dasar alasan dari Imam Besar mereka Rizieq Shihab yang menolak dari RUU ini, dan mereka menganggap RUU HIP bukan suatu urgensi yang dibutuhkan saat ini.
Selain itu, masalah yang cukup krusial yang juga diangkat oleh ormas terkait dengan RUU ini ialah adanya isu terkait kesempatan komunisme untuk tumbuh lagi di Indonesia, dengan alasan tidak dimasukkannya TAP MPRS 25 Th 1966 yang mengatur tentang pembubaran PKI serta larangan komunisme dalam landasan Mengingat pada RUU tersbut.
Bila melihat dari penolakan dari RUU HIP ini, yang didominasi oleh ormas-ormas islam sungguh memperlihatakan bahwa RUU tersbut bisa mempengaruhi dari dimensi ruang ormas-ormas tersbut. Karena dalam prosesnya, ormas-ormas tersebut memang memiliki dominasi yang cukup besar dimasyarakat, yang mana bila ruang dimensi mereka bisa terganggu maka harus ada tindakan yang dilakukan untuk kemablikan kestabilan dari ruang mereka.
Melihat dari derasnya arus penolakkan yang digaungkan oleh ormas-ormas tersebut, memperlihatkan bahwa tujuan dari RUU HIP bukan untuk diterpakan dalam lingkaran dari ormas-ormas tersebut, dengan penolakkan ini membuat bahwa asas keagamaan dan ketuhanan masih menjadi poin krusial dari negara kita.
Mahasiswa Masih Diam
Saat ini kita masih belum melihat suara mahasiswa yang biasa paling kritis akan suatu kebijakan yang bermasalah. Namun mengapa RUU HIP ini seakan membuat mahasiswa merasa tidak gelisah.
Apakah ada yang salah? Tentu menjadi pertanyaan bagi kita, melihat diamnya mahasiswa yang tidak mengikuti arus perkembangan dari RUU tersebut, atau mahasiswa merasa bahwa tidak ada yang salah dengan RUU tersebut? itu masih belum bisa kita temukan jawabannya.
Namun hal tersebut tidak mewakilkan dari keseluruhan perwakilan dari seluruh mahasiswa. Salah satu orgnaisasi mahasiswa yang cukup besar sudah angkat bicara terkait dengan permasalahan ini, PB HMI-MPO telah angkat suara dan menyatakan ketidak setujuannya terkiat denga RUU tersebut disampaikan oleh Ketua Umum (republika.com,2020).
Masih banyaknya mahasiswa yang diam dengan permasalahan ini menimbulkan pemandangan terbalik dengan kasus HAM Novel. Mahasiswa saat ini lebih banyak menyalurkan terkait dengan keadilan yang dijanjikan oleh negara, yang hingga saat ini masih sulit untuk didapatkan oleh mereka yang ingin berjuang untuk kebaikan.
Bukan salah mahasiswa bila mereka lebih mementingkan masalah HAM Novel dari pada masalah RUU HIP ini, karena hal ini juga merupakan suatu urgensi yang tidak bisa segera dihadirkan oleh negara kepada masyarakatnya. Ini menjadi gambaran yang mungkin akan tetap terjadi kedepannya bila mana tidak ada tindak tegas dari negara dalam memberikan keadlian untuk rakyatnya.
Saya selaku mahasisiwa yang juga ikut memperhatikan dari kasus HAM ini merasa bahwa bukan saatnya kita membericakan terkait dengan UU untuk mengatur nilai-nilai Pancasila, namun kita saat ini sedang dilanda krisis keadilan yang belum bisa dirasakan oleh masyarakatnya. Bukan mendapat hal baik bila kita berjuang untuk kebaikan, malah ancaman dan intimidasi yang kita dapatkan bila terlalu lantang bersuara. Terlebih bila sudah bersinggungan dengan para kaum elite negara.
Jadi masalah RUU HIP ini sebenarnya belum ada kejelasan terkait dengan siapa yang ditagetkan dalam pembuatannya, karena masyarakat kita yang didominasi salah satu agamapun menolak dari RUU ini, apalagi masyarakat kita yang minoritas. Belum tentu bila mereka setuju akan memberikan dampak yang baik bagi mereka. Terlebih RUU ini bila dicermati lebih dalam, akan mengatur segala dasar-dasar dari kegiatan negara, yang kita tahu bahwa hal tersebut nantinya akan bisa menimbulkan permasalahan baru akibat dari perbedaan dari pandangan, dan juga hal ini bisa menyentuh dari rana privasi masyarakat. Dan hal itu sudah kita rasakan di beberapa RUU yang sudah ada sebelumnya. (*)
Comments are closed.