Katinting.com, Mamuju – Dalam pertemuan penentuan indeks “K” dan harga pembelian tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang berlangsung di salah satu hotel di Mamuju berlangsung alot, dimana petani meminta kenaikan harga dengan indeks “K” 80 persen. Rabu (06/03).
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sulawesi Barat, Andi Kasruddin, mematok indek “K” itu harus 80%, sebab dianggap terlalu rendah dengan tawaran rata-rata 72%.
Menurut Kasruddin, selama ini perusahaan unggul tidak pernah terbuka kontrak penjualannya. Dibanding dengan perusahaan lainnya unggul juga saat dipanggil oleh gubernur Sulbar untuk dimintai kejelasan soal harga TBS, tidak pernah hadir.
“Yang merusak harga sawit di Sulbar adalah PT. Unggul, saya berani katakan itu. Dan baru kali ini PT. Unggul indeks K 72,53 persen dan tdk pernah sampai 80 persen,” katanya.
Sedangkan Rayu anggota komisi II DPRD Sulbar yang hadir dalam kesempatan tersebut, meminta pihak perusahaan tidak main-main dalam menentukan harga. Sebab menurutnya, dibanyak tempat indek “K” nya itu semua diatas 80% sehingga itu bisa jadi patokan.
“Di Kaltim itu sudah ditetapkan harganya, indeks K nya diatas 80 persen. Liat saja, buka saja semua diinternet, se Indonesia indeks k diatas 80 persen, cuman kita rendah (Sulbar,red),” jelasnya.
Sambung ia mengatakan, dengan indeks yang ditentukan sendiri oleh perusahaan dan tidak adanya transparansi kontrak penjualan, dianggap cara-cara “merampok” petani.
“Saya minta perusaahn jangan merampok lewat penentuan harga rendah. Saya minta penentuan harga itu riil, dinas perkebunan jangan berpihak, jangan tetapkan harga kalau tidak riil. Jangan dimain-mainkan,” kata Politis PDI P ini.
Sementara itu pihak petani Nassruddin dari Bulumario, “Petani meminta penentuan indeks K bisa 80 persen. Sebab tidak mungkin perusahaan rugi yang sudah 20 tahunan berkebunan. Pasti untung bagikanlah keuntunggan itu kepada petani, ujarnya.
Sementara itu, Kabid PPHP Dinas Perkebunan Sulbar, Abdul Waris Bestari, meminta semua pihak perusahaan pada bulan depan untuk memperlihatkan kontrak penjualannya.
“Dalam undangan kita sudah minta itu (kontrak) tapi tidak pernah ada. Kita harus transparan,” sebut Abdul Waris Bestari.
(Anhar Toribaras)