Muchtar Tanong
Muchtar Tanong (kiri) bersama Tugiran saat konferensi pers, usai penetapan harga TBS. (Foto Anhar)
banner 728x90

Mamuju, Katinting.com – Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Regional Sulawesi, Muchtar Tanong, memberikan penjelasan mengenai tanggapan publik, terkait beberapa pihak perusahaan yang dianggap tidak jujur dan transparan dalam penetapan Indeks “K” dan harga tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit.

Muchtar menuturkan, publik terlalu menyederhanakan masalah yang ada dalam penetapan indeks K dan penetapan harga TBS Kelapa Sawit. Jawabnya saat ditanya Katinting.com usai menghadiri penetapan harga yang berlangsung di aula Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Barat, Senin, (14/1).

“Padahal mekanisme dalam perusahaan, angka satu rupiah saja itu berbeda kita diperiksa oleh yang namanya akuntan publik. Tentu kaitannya dengan perpajakan dan lain-lain. Kalau data itu berbeda itu akan menjadi hal yang fatal bagi kita. Jadi saya yakin kan bahwa perusahaan tidak mungkin akan melakukan hal yang seperti itu. Saya kasih contoh bahwa dalam penjualan juga itu harus sama dengan pada saat kita harus melakukan pembayaran petani. Kalau beda sedikit saja itu kita akan diperiksa oleh pihak perpajakan,” jelas Muchtar Tanong.

BACA JUGA : Jangan Seenaknya, Waris Berharap Perusahaan Kelapa Sawit Taati Aturan 

“Toh, Alhamdulillah selama ini, orang perpajakan tidak pernah menegur kami. Karena kami juga di audit. Jadi saya jelaskan bahwa perusahaan juga di audit oleh akuntan publik (Perpajakan),” tambahnya.

Terkat dengan bebepa perusahaan yang tidak memasukkan invoice, dirinya mengatakan, invoice hanyalah suatu bukti bahwa telah terjadi penjualan. Penjelasn lebih dalam lagi mengenai invoice, dia mengatakan, sebenarnya rahasia penjual dengan pembeli atau kata lainnya adalah konfidensial.

“Yang saya maksud rahasia adalah konfidensial. Jadi perjanjian antara penjual dan pembeli harus tau, tapi tidak dengan pembeli lain. Mereka tidak mau ketahuan oleh kompetitornya. Saya kasih contoh, kalau ada bertanya kepelatih sepakbola, kira-kira formasi apa yang dimainkan? tentu pelatih tidak bisa menyebut itu, nanti dilapangan baru ditau formasi apa yang dipakai,” tuturnya.

Ia menyampaikan, perusahaan yang tidak memasukkan invoice-nya, sebenarnya bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan. Sebab, dari lima perusaahan yang memasukkan invoice-nya, selisih harga yang ditetapkan tidak terlalu jauh.

Itu namanya analisis koperatif, Mencoba untuk membandingkan. Kecuali misalnya ada perusahaan tidak memasukkan invoice dan jauh rendah sekali (harga pembeliannya), itu baru bisa kita katakan wah ini ada permainan. Tapi kalau kita lihat sekarang harga lima perusahaan ini tidak berbedah jauh. Malah harga Astra sekarang lebih bagus dibandingkan PT. Manakarra Unggul Lestari, jelasnya.

Terkait dengan perbedaan harga TBS yang ada di Kalimantan dan Sulbar, mengatakan, kalau menyamakan harga di setiap daerah, maka tidak perlu memakai sistem  Freight On Board (FOB). “Kalau harga mau sama harunya kita menganut namanya CIF (Cost, Insurance, and Freight) Pelabuhan Balawang. Pasti harga jual sama. Tetapi kalau ditarik keluar, tentu akan muncul lagi komponen biaya, yaitu biaya transportasi CPO dari Mamuju ke Medan. Jadi ujung-ujungnya akan sama juga (harga tetap berbeda dengan daerah lain),” ungkapnya.

Masih kata Muchtar, di Kalimantan telah membentuk satu kawasan ekonomi Maloi. Yaitu kawasan yang memotong jalur-jalur agar tidak terlalu memakan banyak biaya transportasi. Sehingga biaya tranportasi mereka lebih mudah.

“Jadi wajar kalau harga disuatu daerah itu berbeda karena sistem yang diatur didalam itu adalah FOB. Kalau kita bandingkan misalnya harga dengan di Sulsel. Di Sulsel itu jauh lebih murah dibanding dengan kita,” tutup Muchtar Tanong.

(Zulkifli)

Bagikan