Mamuju, Katinting.com – Sukses mendulang penonton hingga diatas 16 jutaan, Film Dirty Vote, sejak rilis 11 – 13 Februari 2024, dengan genre film dokumenter, yang berisi pemaparan dugaan kecurangan Pemilu 2024 ini, para pemeran dan sutradaranya, di polisikan dengan laporan resmi ke Bareskrim Polri oleh Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi).
Laporan tersebut berbuah perlawan dari Aliansi Jurnalis Independen & Koalisi Masyarakat Sipil beserta 11 lembaga pemerhati demokrasi dan HAM, dengan menilai pelaporan tersebut, adalah bentuk pembungkaman suara suara kritis yang ingin membongkar dugaan potensi kecurangan Pemilu 2024.
Dalam laporannya, DPP Foksi melaporkan tim yang terlibat dengan Pasal 287 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana film Dirty Vote dianggap melanggar ketentuan di masa tenang Pemilu. Para pelapor menuding Dirty Vote sebagai black campaign atau kampanye hitam terhadap salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Narasi ini menggunakan
dalih waktu peluncuran Dirty Vote yang bertepatan dengan masa tenang sebelum pemungutan suara Pemilu 2024.
Untuk itu melalui keterangan persnya, AJI & Koalisi Masyarakat Sipil beserta 11 lembaga lainnya, membantah semua tudingan dari pelapor atas para pemeran dan sutradara film Dirty Vote, sebab film dokumenter Dirty Vote ini, merupakan karya jurnalistik yang diproduksi secara kolaboratif oleh para jurnalis dan dan organisasi masyarakat sipil di antaranya AJI, Bangsa Mahardhika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace, ICW, JATAM, Jeda untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, WALHI, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal dan
YLBHI. Pembiayaan film ini juga berasal dari sumbangan individu dan organisasi masyarakat sipil
Olehnya, para penolak laporan terhadap pemeran Dirty Vote Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti juga sutradaranya Dhandi Dwi Laksono, tidak lah melanggar pasal yang ditudingkan oleh pelapor, sebab film dokumenter tersebut, adalah sebuah metode menyampaikan ke publik, adanya dugaan potensi kecurangan pemilu yang di design secara sengaja. Sehingga pernyataan pelapor yang menyampaikan Dirty Vote adalah bentuk kampanye hitam, merupakan bentuk deligitimasi terhadap kritik dan fakta-fakta yang disajikan pada film tersebut.
AJI & Koalisi Masyarakat Sipil beserta 11 lembaga lainnya, menyatakan menolak tudingan bahwa film dokumenter tersebut, merupakan upaya untuk membunuh karakter salah seorang Capres – Cawapres, adalah pernyataan sesat, karena film dokumenter Dirty Vote tidak menyajikan ilusi, tapi fakta fakta yang melalui riset yang panjang.
Karenanya, serangan DPP Foksi berujung pelaporan kepada pemeran dan sutradara Dirty Vote, adalah pola serangan balik terhadap para pengkritik, untuk secara tegas AJI & Koalisi Masyarakat Sipil beserta 11 lembaga lainnya, menyatakan sikap tegas :
1. Menolak kriminalisasi terhadap para pengkritik termasuk terhadap para pakar hukum dansemua pihak yang terlibat dalam pembuatan film Dirty Vote baik dengan UU Pemilu atau ketentuan pidana lainnya.
2. Meminta pemerintah, aparatur negara, partai politik, para calon presiden dan wakil presiden, para kontestan pemilu, serta para pendukung mereka, tidak alergi terhadap kritik yang disampaikan publik, termasuk fakta-fakta kecurangan pemilu.
3. Mendesak Kepolisian RI, Bawaslu, Kejaksaan RI, dan lembaga lainnya tidak mengikuti kehendak atau narasi para pelapor dan pihak-pihak yang anti kritik untuk memidanakan para tokoh dan pembuat film Dirty Vote. Sehingga sudah semestinya, laporan yang diajukan oleh para pelapor ditolak dan tidak dilanjutkan secara hukum.
4. Mendesak para penyelenggara pemilu dan penegak hukum memproses fakta-fakta kecurangan Pemilu 2024, alih-alih memidanakan pakar dan aktivis di balik film Dirty Vote. (rls/Fhatur Anjasmara)