
Oleh : Hairil Amri
Sebagian dari kita mengasosiasikan demokrasi dengan politik, tak salah namun tak tepat, sebab demokrasi tidak hanya pada batasan politik saja, namun lebih dari itu, pengawasan terhadap otoritas publik juga bagian dari praktik demokrasi.

Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kira-kira demikian defenisi demokrasi bagi seorang Abraham Lincoln, ia berkebangsaan Amerika yang mungkin saja defenisi tersbut gambaran dari kondisi sosiologi masyarakat disana.
Mari kita alihkan pandangan kita ke German, zaman Adolf Hitler memimpin, mungkin masih segar dingatan kita tentang tragedi genosida, berapa banyak nyawa orang-orang Yahudi melayang disana, dan dengan sederhana pemimpin Nazi mengklaim bahwa itu bagian dari berjalannya demokrasi.
Tidak hanya sampai disitu, negeri tempat komunisme tumbuh subur juga mengklaim bahwa negerinya adalah negeri demokratis, sekalipun dalam pergantian pemimpin Negaranya dilakukan dengan tertutup dan hanya melibatkan satu partai politik, yakni partai komunis.
Di Indonesia sendiri rezim orde baru juga di kenal menjauhkan bangsa ini dari demokrasi, tiga puluh tahun lebih kita dibawah pimpinan soeharto dan berapa banyak peristiwa di dalamnya yang membuat bangsa ini harus melakukan reformasi. Mungkin masih segar dalam ingatan kita menyoal penculikan aktifis, pelarangan musik yang dianggap provokatif, semuanya itu menunjukkan bahwa betapa represif nya orde itu, yang lebih mencengangkan orde itu, mereka sebut demokrasi pancasila.
Lantas bagaimana dengan rezim saat ini, mungkin tak kalah segarnya dalam ingatan kita menyoal istilah makar, kriminalisasi dan pembubaran ormas. Apakah ke tiga hal tersebut membuat demokrasi kita makin maju ? atau justru membuat indeks demokrasi kita semakin menurun ? jika menurun, dua puluh tahun pasca reformasi beserta agenda reformasi yang telah dicanangkan sejak 1998, secara objektif membuat kita harus mengritisi rezim saat ini.
Itulah sederat fakta yang membuat kita harus mengkritisi defenisi demokrasi dari Abraham Lincoln, alih-alih semuanya dari, oleh dan untuk rakyat justru membawa malapetaka bagi rakyat sendiri.
Politik Hukum dan Korelasinya Dengan Demokrasi Politik
Sebelum membahas lebih jauh tentang politik hukum, Baiknya kita pahami bahwa ada dua pendapat mengenai politik hukum yakni. Pertama, hukum determinan terhadap politik, kedua, politik determinan terhadap hukum. Pada pembahasan ini, saya berpijak pada pendapat bahwa politik determinan terhadap hukum, konsekuensi nya hukum merupakan produk politik yang secara langsung memiliki hubungan erat dengan demokrasi-politik.
Tak ada yang bisa pungkiri bahwa produk hukum (yang selanjutnya saya sebut sebagai Undang-Undang) adalah bagian dari tujuan pokok dari salah satu lembaga tinggi dalam konsep trias politica, yakni legislative (yang selanjutnya saya sebut DPR). Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa DPR di isi oleh para kader partai politik. Oleh karena itu konfigurasi politik menjadi prasyarat demokratisasi sebuah Negara.
Ciri konfigurasi politik demokratis yakni adanya partai politik yang kuat dan tidak di bawah kendali eksekutif, selain itu pers mesti bebas dalam mengabarkan pemberitaan kepada halayak umum. Sebaliknya, ciri konfigurasi politik Otoriter terdiri dari partai politik yang lemah dan dibawah kendali eksekuitif, pers terpasung diancam sensor dan pembredelan.
Kedua ciri konfigurasi politik diatas telah kita jalani sebagai suatu bangsa, konfigurasi politik otoriter telah dijalankan oleh orde baru dan sejak reformasi hingga saat ini konfigurasi politik demokratis masih sedang berlangsung. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana konfigurasi politik kita saat ini ?
Mungkin saja kita masih ingat terhadap pembubaran ormas HTI beberapa bulan yang lalu, parliamentary threshold yang memperkecil partai kecil dan memperbesar partai besar, dan baru-baru ini isu RUU Permusikan dan UU ITE cukup menyita perhatian publik, selain itu kriminalisasi terhadap aktifis HAM, Ulama dan akademisi.
Klaim konfigurasi politik demokratis kita saat ini wajib untuk ditinjau kembali, betapa tidak fenomena dan ketiga produk hukum diatas bertentangan dengan klaim demokratis. Oleh karena itu konfigurasi politik yang demokratis tidak serta merta melahirkan produk hukum yang responsive.
Ujian Demokrasi dan Peran Kaum Muda
Tak bermaksud mencari kambing hitam dalam beberapa fenomena dan Undang-undang tersebut, mungkin akan lebih arif jika kita mengatakan semua itu adalah ujian demokrasi untuk kita sebagai warga Negara, sebab maju atau tidak nya sebuah bangsa tidak melulu bergantung pada penyelenggara Negara, tetapi peran serta seluruh element mesti berpacu didalamnya.
Demokrasi tanpa partisipasi masyarakat juga akan mengarahkan konfigurasi politik kita menjadi otoriter, pengawasan terhadap otoritas publik juga akan membuat demokrasi kita semakin sehat, peranan demikian itulah yang mesti kita ambil. Namun alih-alih ingin menjalankan peran tersebut demi menjaga demokrasi, minat literasi saja kita masih kurang, itu dibuktikan oleh survey yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) bahwa kita (Indonesia) berada di peringkat enam puluh dari enam puluh satu Negara, sebagai akibat Hoax atau berita palsu menjadi senjata dalam demokrasi-politik kita hari ini.
Bagaimana mungkin pengawasan terhadap otoritas public terjadi tanpa pendekatan ilmiah ? boleh saja kita bersahabat dengan megaphone, namun gagasan yang kita sampaikan dalam pengawasan tersebut mesti terukur secara ilmiah. Oleh karena itu kemunduran demokrasi kita juga datang dari sebagian kaum muda. (*)

Comment