Oleh : Muhammad Asri Anas.*
Pernahkah memperhatikan tingkah laku anak kita di rumah? Di kota besar seperti Jakarta, anak-anak sudah lupa dengan dunianya, mereka akan ‘hilang’ ketika disodori gadget.
Di zaman ini pergeseran gaya hidup adalah keniscayaan. Faktornya ialah globalisasi yang membuat jurang pemisah kian merapat, dan garis antar negara semakin samar. Adapula konvergensi teknologi informasi yang memaksa hidup kita berpindah yang oleh Rhenald Kasali disebut Great Shifting.
Pernahkah memperhatikan tingkah laku anak kita di rumah? Di kota besar seperti Jakarta, anak-anak sudah lupa dengan dunianya, mereka akan ‘hilang’ ketika disodori gadget. Mata mereka akan terkunci di layar handphone dan tidak mempedulikan aktivitas orang lain di sekitarnya. Mereka menjelajahi dunia bernama game dan video kesukaannya setiap hari.
Hal ini tentu amat berbahaya 10-15 tahun kedepan. Saya berdoa semoga tidak menjangkiti masyarakat kita termasuk di Sulawesi Barat. Sebab hal itu tidak saja akan membuat anak kehilangan kebahagiaannya. Mereka akan lupa untuk belajar atau memacu diri berprestasi karena terbuai oleh kemajuan teknologi. Yah, tabiat selaku konsumen di negara ber-flower.
Padahal tantangan di masa depan kian besar. Anak-anak muda itu dituntut memiliki skill tinggi. Dari laporan World Economic Forum disebutkan bahwa akan ada lima juta jenis pekerjaan yang hilang pada 2020.
Jumlah manusia yang kehilangan pekerjaan itu sebanyak 2 juta miliar pada 2030 di seluruh dunia. Mereka dipecat sebab banyak sistem yang ternyata mampu dikerjakan sendiri oleh robot terotomatisasi. Misalnya teller bank yang digantikan mesin berbicara yang menginput angka-angka di badannya.
Fakta hilangnya pekerjaan di atas patut kita sandingkan dengan laporan dari Richard Dobbs yang saya baca beberapa hari lalu. Tulisan itu berjudul No Ordinary Disruption. Ia menyebutkan saat ini ada empat sumber perubahan besar di dunia. Salah satunya semakin banyak megacity, atau kota-kota besar yang berpenduduk di atas sepuluh juta jiwa.
Uniknya, Jakarta dan sekitarnya menjadi peringkat kedua megacity dengan total penduduk 31 juta orang. Setiap tahun Jakarta menyambut pendatang baru dari seluruh wilayah di Indonesia.
Pertanyaannya, kemana anak-anak kita di desa yang skill-nya rendah dan enggan mempelajari hal baru pada 10 tahun ke depan? Jangan-jangan merekalah pemuda yang akan menyesaki Ibukota. Mereka akan bekerja sebagai apa? Alih-alih mendapatkan pekerjaan layak, mereka justru sekali lagi kehilangan masa depan.
Padahal ada potensi yang amat besar di desa dan bisa menjadi pekerjaan baru jika pemuda kita serius mengelolanya. Sejak Undang-Undang Desa yang turut kami dorong pelaksanaannya melalui DPR MPR RI disahkan. Sudah ada total 257 triliun dana yang disalurkan pemerintah pusat. Rinciannya Rp 20,7 trilun (2015), Rp 47 triliun (2016), Rp 60 triliun (2017), Rp 60 triliun (2018), dan Rp 70 triliun (2019).
Misalnya saja jika 30 persen dari dana Rp. 60 triliun, tahun lalu dikucurkan untuk membayar upah pembangunan desa melalui proyek padat karya maka bakal tercipta lowongan kerja baru sebanyak 5,7 juta.
Itu baru satu tahun anggaran. Bayangkan berapa banyak lapangan kerja baru yang terbuka di tahun-tahun mendatang setelah dana desa digunakan untuk membangun sumber pendapatan seperti pasar, objek wisata dan Badan Usaha Milik Desa atau Bumdes.
Jangan biarkan dana desa dinikmati orang kota.
Hal inilah yang harus kita kawal di desa, agar peruntukan dana ini benar-benar dimanfaatkan oleh warga. Jangan biarkan dana desa dinikmati orang kota. Pemuda-pemuda desa harus mampu mengambil kesempatan ini, menjadi pekerja yang terampil untuk memajukan sendiri daerahnya. Tentu harus dibarengi dengan skill dan wawasan yang luas, itulah pentingnya bersekolah yang tinggi dan paham teknologi, Nak.
*Penulis adalah Anggota DPD MPR RI dan Ketua DPW PAN Sulawesi Barat