Oleh : Wira Wahyu Utama*
Ulasan Strategi dan Pola Permainan dalam Sepakbola dan Politik
“Piala eropa mempertandingkan timnas-timnas tangguh sedangkan Pilgub Sulbar mempertarungkan figur-figur hebat. Selain karena dua hal ini adalah Kompetisi terbuka, keduanya juga sama-sama membutuhkan strategi dan perhitungan-perhitungan khusus. Nyaris tak ada beda.
Ditengah menurunnya kepercayaan fans dan prestasi Italia di kanca eropa, Gil Azzuri dibawah asuhan Antonio Conte membuktikan di dua laga awal bagaimana sepakbola ‘Catenaccio’, ala Herera masih efektif, jika dipaduh dengan inovasi yang tepat. Setidaknya itu terlihat saat Italia membungkam Ibrahimovic Cs (Swedia) dan Hazard Cs (Belgia) pekan lalu.
Pertahanan dengan gaya serampangan, tapi kokoh seperti tembok (catenaccio) ala Herera (Mantan Pelatih Italia) yang terkenal beberapa puluh tahun silam itulah yang saya kira dilihat Conte, Eks Pelatih Juventus, sebagai sebuah strategi guna menutupi keroposnya gigi tajam lini depan Italia sepeninggalan Rossi, Baggio, Del Piero, Inzaghi dsb. Belum lagi, di barisan tengah, Daniel De rossi, Parolo, Canreva, dan Florenzi yang sepertinya belum senapas. Karenanya tak heran jika ia (Conte) kembali memercayai tiga saudara tak sebiologis ini, Bonucci, Barzagli dan Chiellini sebagai pagar bergerak, beberapa meter di depan Gianluggi Buffon.
Setelah berhasil mempecundangi tim favorit juara jagad maya Belgia (2-0) dan Swedia (1-0), Italia memastikan langkah ke fase 16 besar Euro 2016. Jika ditilik kebelakang, kemenangan (Italia) atas tim-tim dengan pemain bertabur bintang sekaliber Kompany, Ibrahimovich, De Bruyne, Edin Hazard, dan Romero Lukaku, merupakan hal yang biasa-biasa saja. Mengingat Italia memang punya track-record lebih baik dibandingkan Belgia maupun Swedia. Empat kali juara Dunia dan sekali juara Eropa.
Seperti pengulangan atas apa yang terjadi di Euro 2000 silam, di babak penyisihan Italia juga unggul dengan skor yang sama atas Belgia. Kala itu gol pertama dicetak Fransesco Totti yang mencuri bola lambung diatas kepala para bek Belgia dan membuat kipernya tak berkutik banyak, kemudian gol kedua dilakukan oleh Stefano Fiore melalui taktik satu dua apik dengan Filipo Inzaghi, sebelum melesatkan bola ke sudut kiri jala Filip De Wilde (Kiper Belgia) Dua-nol untuk Italia.
Di Euro 2000 inilah masa keemasan bagi Italia dan Paulo Maldini Cs (Legenda Milan) sayangnya di tahun itu, Gil Azzuri hanya mampu keluar sebagai Runner Up, setelah kalah di final melawan Prancis yang dua tahun sebelumnya juga menjuarai piala dunia. Zinadine Zidane semakin terkenal kala itu.
Di pesta sepakbola 4 tahunan benua biru ini (Euro 2016), Timnas Italia tak begitu diunggulkan, banyak yang meragukan Buffon Cs akan mampu berbuat banyak di negeri bekas sentuhan Napoleon Bonaparte ini (Prancis). Selain karena Prestasi Italia di piala eropa tak begitu menjanjikan, tercatat hanya sekali memeluk piala di tahun 1968 (itupun sebagai tuan rumah) Klub-klub sepakbola negeri Pizza di pentas eropa belakangan ini juga tak begitu mentereng, taringnya tidak mampu melemahkan dominasi klub negeri matador (Spanyol) dan negeri Bir (Jerman).
Dewasa ini, siapa tak mengakui keperkesaan Barcelona, Bayern Munchen, Real Madrid, menyusul Dortmund dan Atletico. Adapun klub Italia, yakni Juventus, Napoli dan Roma sepintas hanya tampak seperti pelengkap di gelaran UCL dan UEFA. Sedangkan Ac Milan dan Inter Milan masih tertidur lelap di Stadion kebanggaan mereka.
Barangkali sederet kenyataan itulah yang membuat Timnas 4 bintang ini diragukan menjadi pemenang, apalagi rival beratnya Spanyol, saat ini juga sudah memastikan langkah serupa ke babak 16 besar Euro 2016. Masih segar diingatan, bagaimana Tim Banteng ini membabat habis Italia di Stadion Olimpiade Kiev, Ukraina pada Final Euro (2012) 1 Juli, silam. Italia patut mewaspadai juara bertahan ini (Spanyol) atau Incumbent dalam istilah Politik.
Tapi hasil pertandingan, Dua kali 45 menit dan pertambahan waktu jika dibutuhkan, sekali lagi tidak ditentukan diatas kertas, omongan komentator, pengamat bola dan apalagi fanatisme fans. Hasil akhirnya selalu tertera di papan skor usai pertandingan. Adapun faktor ‘X’ yang tak terlihat, seperti pengaturan skor oleh para mafia dan semacamnya, itu hal lain yang tentu membutuhkan penjelasan khusus. Dalam Pilkada, hal serupa ini dikenal dengan istilah kecurangan yang biasanya berakhir di Mahkamah Konstitusi.
Diluar lapangan (penonton atau fans) hanya mampu sampai prediksi-prediksi, tak lebih dari itu. Tapi yang jelas olahraga ini selalu bisa membuat kejutan-kejutan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmatnya. Sama persis dengan pertarungan politik. “Sudah ditahu prediksinya salah, tapi tetap ngotot bilang menang dan tuding lawan curang,”
*Sepakbola dan Politik
Dalam dunia sepakbola, untuk menjadi juara dibutuhkan strategi, fisik, mental dan perhitungan-perhitungan tepat disetiap laganya. Melibatkan pemain dan tim official guna memprediksi kelemahan-kelemahan lawan dan memilih strategi memenangkan pertandingan. Bertahan, menyerang, membalikkan keadaan, mentekel, membodi, dan yang terpenting mencetak gol dan mengangkat piala. Demikianlah sekelumit urusan bola.
Yang tak jauh beda dengan urusan Politik dimana komponen-komponen tersebut juga dibutuhkan guna memenangkan pertarungan atau paling tidak membuat lawan-lawan gemetar dan memutuskan unutk menyerah sebelum bertarung. Hal inilah yang barangkali akan terjadi di Pilgub 2017 nanti. Cepat atau lambat, pola ini akan segera terlihat.
*Pilgub Sulbar
Menjelang pesta Demokrasi meraih pucuk pimpinan daerah Provinsi 2017 yang tinggal beberapa bulan lagi. Saat ini para figur, baik dari latar belakang politisi, pengusaha, birokrasi dan jagoan-jagoan daerah tengah mempertontonkan kehebatan-kehebatannya, sama dengan para pemain dan pelatih diatas lapangan Hijau.
Dari obrolan-obrolan warung kopi, Penulis memantau jika saat ini setiap kabupaten terlihat memiliki masing-masing jagoaanya. Demikian pula dari aspek klaster profil pemilih, masing-masing kelompok baik yang berlatar keluarga petani, birokrasi, kelompok pekerja swasta maupun segmen pemilih pemula dan kelompok mahasiswa, juga punya pendapat yang beragam tentang siapa yang akan dipilih.
Belum adanya bakal pasangan calon yang memastikan akan mengenderai partai politik apa, menjadi salah satu faktor belum terpolanya kemana dukungan akan mengalir. Sama seperti permainan Italia kala melawan Belgia, tampak barisan tengah (Italia) kesulitan mengalirkan bola ke Pelle maupun Eder, praktis hal ini membuat Belgia lebih mampu mendominasi dan meningkatkan frekuensi serangan. Sayangnya Edin Hazard Cs tidak mampu menembus barikade pertahanan Italia dan justru kecolongan melalui serangan balik gil-azzuri.
“Dengan kata lain, mendominasi keadaan belum berarti memenangkan pertarungan.”
Kembali ke Pilgub. Persoalan belum jelasnya dominasi dukungan ke salah satu bakal cagub, Dikira penulis dipengaruhi oleh tidak adanya kepercayaan pemilih akan ketetapan pilihannya. Sehingga pilihan masih bersifat sementara, lebih cair dan cenderung terus berubah. Saat ini pemilih lebih memilih mereka yang dipandang memiliki kekuatan jaringan (Proxiemity) untuk mengamankan diri, mempertahankan mata pencaharian dan mengamankan kelompoknya berdasarkan representasi identitas wilayah, identitas etnik maupun garis jabatan birokrasi.
Selain itu keraguan dari setiap bakal calon gubernur untuk keluar dari basis pendukung mereka ini yang mengakibatkan lahirnya polarisasi suara berbasis geografis maupun etnis. Sehingga elektabilitas bakal calon gubernur mudah ditebak. Apa etnik mayoritas dan siapa penguasa di wilayah pemilihan tertentu, akan diperhitungkan.
Sama dengan Timnas Prancis, yang menjadi tuan rumah di Euro tahun ini. Antonio Griezman dan Paul Pogba patut diwaspadai lawan.
Hal lain yang tak kalah penting adalah sosialisasi secara langsung yang dinilai masih kurang. Perkenalan bakal calon gubernur dengan masyarakat (calon pemilih) selama ini cenderung hanya bersumber dari spanduk, baliho dan ketokohan para tim sukses, bukan dari pertemuan langsung para kandidat.
Hal ini tentu tak begitu sehat bagi perbaikan demokrasi yang saat ini kian memprihatinkan. Sama dengan Timnas Portugal yang tak bisa keluar dari bayang-bayang kebesaran Cristiano Ronaldo. Pola permainan kesebelasan ini terlalu bergantung kepada ketokohannya. Alhasil di dua laga sebelumnya, runner up eoro 2004 ini hanya bisa mendapat dua poin dan berada satu tingkat diatas juru kunci Austria. Padahal para pemain Portugal juga banyak yang tak kalah hebat dari peraih 3 kali balon d’ore itu.
(Ronaldo).
“Jangan terlalu percaya pada ketokohan, permainan ini adalah kerja sama Tim.”
Kembali ke Pilgub. Kondisi saat ini (Pilgub 2017) tentunya akan mengalami perubahan beberapa bulan kedepan dan semakin dinamis, terutama setelah tahapan pendaftaran resmi di KPU yang dijadwalkan akan terjadi di bulan sekira Agustus-September. Setelah tahapan itu, nantinya akan dilihat apakah keadaan ini akan berubah atau tidak, karena paket calon gubernur dan wakil gubernur akan sangat menentukan polarisasi akhir sikap pemilih. Hal ini berhubungan dengan basis geografis dan keterwakilan etnik, serta tentu saja daya penetrasi politik masing-masing cagub/cawagub. Kita tunggu nanti, siapa figur yang memenangkan pertarungan, apakah ia yang berlatar belakang Politisi, Pengusaha, Birokrat Ulung atau Faktor X.
Bagaimana dengan Piala Eropa, kita tunggu juga. Strategi mana yang paling tangguh dan tim mana yang juara. Apakah Italia, Spanyol, Portugal, Belgia, atau Jerman yang sebelumnya tidak pernah kita bahas. Sekedar info. Penulis bukan fans berat Italia apalagi Belgia, tapi Juventini. (*)