Simulasi pemilu yang dilaksanakan oleh KPU Mamuju. (Foto KPU Mamuju)
banner 728x90

*LAPORAN: ZULKIFLI

Masyarakat Indonesia berharap pemilihan umum (pemilu) bisa berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) sesuai asasnya dalam pasal 2 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Namun hal ini sepertinya sulit terwujud. Potensi kecurangan itu sudah ada sejak dari tempat pemungutan suara (TPS).Ā 

Pemilih, saksi, peserta, serta penyelenggara pemilu dapat menjadi aktor kecurangan dalam rangkaian tahapan pemilu. Liputan ini berusaha mengungkap celah permainan kotor tersebut.Ā 

***

Akbar Pakar, 31 tahun, mantan saksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pada salah satu TPS di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat saat Pemilu 2014 dan 2019 mengungkapkan celah praktik kecurangan yang diketahuinya. Menurut dia, kecurangan itu terjadi apabila ada permufakatan jahat antara penyelenggara, saksi, dan unsur pengawas.

ā€œKalau KPPS tidak mengajak main, ya susah curang. Yang jelas kecurangan itu sumbernya dari KPPS,ā€ terang Pakar, akhir Januari 2024 lalu.

KPPS itu merujuk pada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Dalam penyelenggaraan pemilu pemilu, KPPS berperan sebagai pihak yang mengundang pemilih, membagikan serta rekapitulasi hasil pemungutan suara di tingkat TPS. Jika pemilu diibaratkan aliran sungai, maka peran KPPS ini berada di bagian paling hilir. Akumulasi partisipasi, penggunaan surat suara, serta penghitungan raihan suara seluruh peserta pemilu ada di tangan KPPS.

Dalam Pemilu 2024 ini, setiap TPS akan ada tujuh petugas KPPS. Mereka punya tugas berbeda-beda, mulai dari yang mempersilahkan pemilih masuk, membagikan surat suara, hingga yang mengawasi pemilih menandai jemarinya sebagai bukti sudah menggunakan hak suaranya.

Dari pengalamannya, Pakar menuturkan, pelaksanaan tugas KPPS itu diawasi oleh saksi dan pengawas pemilu. Saksi ini di satu TPS bisa ada banyak, minimal satu partai diwakili oleh satu saksi. Belum lagi, saksi dari peserta pemilu seperti calon legislatif tingkat kabupaten atau kota, tingkat provinsi, hingga tingkat nasional. Ada juga saksi dari calon senator atau Dewan Perwakilan Daerah.

Apabila pengetahuan saksi kurang soal penyelenggaraan pemilu seperti syarat seorang pemilih menyalurkan suaranya apa saja, kecurangan bisa saja terjadi. ā€œMisalnya, apakah sebelumnya (pemilih) tidak memilih di TPS lain, baru datang ke TPS (yang ada saksinya) bawa KTP? Tidak ada kesempatan (kalau) mau cek dulu di DPT online, karena tidak ada waktu,ā€ ungkap Pakar yang kembali dipercaya jadi saksi Partai Hanura untuk rekapitulasi tingkat kabupaten pada Pemilu 2024 ini.

Pernyataannya ini merujuk pada proses pengawasan penyelenggaraan pemungutan suara oleh saksi. Seharusnya, saksi berani bersuara jika ada pemilih yang datang namun tidak di cek dulu keberadaannya sesuai dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau DPT Tambahan di TPS tempatnya bertugas. Syarat seseorang bisa masuk ke TPS adalah membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sesuai dengan surat undangan atau pemberitahuan memilih di TPS tersebut.

Saksi yang kurang kritis bisa jadi jalan masuk pembiaran terjadinya kecurangan. Apabila saksi menemukan kejanggalan terkait persyaratan yang dibawa seorang pemilih, ungkap Pakar, seharusnya meminta penjelasan ke Ketua KPPS. Apabila terjadi kejanggalan dan penyelenggara tetap membiarkannya, saksi harus mencatat dan mempermasalahkannya karena itu termasuk pelanggaran aturan.

ā€œTapi tidak banyak saksi melakukan itu. Tata cara pencoblosan juga. Misalnya, ada (pemilih) yang sakit, saksi semestinya berperan di situ, kalau misalnya harus diantarkan surat suara ke rumah (pemilih) yang sakit, saksi harus ikut untuk melihat prosesnya,ā€ terang Pakar menjelaskan titik krusial lainnya terjadi kecurangan.

Pada Pemilu 2019 lalu ada 65 pelanggaran termasuk saat pemungutan suara di Kabupaten Mamuju. Beberapa di antaranya berujung pada keputusan penyelenggaraan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Pelanggaran itu, antara lain, ada pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali atau yang menggunakan hak pilih orang lain.

Salah satu pelakunya, Repelita, 50 tahun. Pria yang pernah bertugas sebagai pengawas pada Pemilu 2014, kedapatan mencoblos lebih dari satu kali pada Pemilu 2019 di Desa Botteng, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju. Dia memanfaatkan surat suara milik keponakannya yang tengah merantau ke Kalimantan.

Akibat perbuatannya, Taita, begitu dia biasa disapa, terjerat hukuman pidana percobaan satu bulan dengan kewajiban melapor satu kali setiap 24 jam.

Saat ditemui di kediamannya, Taita mengungkapkan, keponakannya saat itu memberikan surat pemanggilan atau undangan memilih kepada dirinya.

ā€œSaat itu penyelenggara mengatakan bisa (saya yang memilih), makanya saya lakukan. Saya merasa tidak menyalahi aturan, tapi kenapa saya disalahkan. Karena yang memberikan saya wewenang adalah penyelenggara,ā€ tegas Taita awal 2024 ini.

Apakah Taita tidak mengetahui peraturan?

Berdasarkan penuturannya, dia cukup paham proses pemilu. Setidaknya, pria yang jadi pengawas Pemilu 2014 itu melaporkan dugaan kecurangan di TPS 05, Desa Botteng, Kecamatan Simboro. Menurutnya, ada 25 surat suara tersisa yang seluruhnya dipergunakan oleh penyelenggara. Surat suara itu seharusnya tidak dipergunakan.

Mantan Ketua KPPS 05, Desa Botteng, Kecamatan Simboro, Ramli membantah tudingan tersebut. Dia juga mengaku tidak ingat betul peristiwanya karena terjadi satu dekade silam.

ā€œSebenarnya waktu itu tidak seberapa kecurangan, cuma pengawas ada yang melapor. Bilangnya dianjurkan sama Pak Desa, kartu pemilih (surat suara) itu ditusuk (coblos) semua, tapi faktanya tidak seperti itu. Kami tidak mencoblos sisa surat suara, tapi tetap PSU karena adanya laporan pengawas Pemilu,ā€ ujar Ramli.

Laporan dari Taita itu berujung pada PSU di TPS 05 tersebut. Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Barat mengungkapkan temuan Ketua KPPS 05 Desa Botteng melakukan pelanggaran pidana pemilu dengan mencoblos 25 surat suara yang tersisa.

Gambaran kasus di atas memperlihatkan pentingnya peran saksi dan pengawas di TPS. Kondisi serupa berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu pada 14 Februari 2024 nanti.

Biaya Mahal Saksi

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kabupaten Mamuju yang juga calon anggota legislatif (caleg) untuk daerah pemilihan I Kabupaten Mamuju, Hamar melihat potensi sengketa atau kecurangan pemilu rentan terjadi di tingkat TPS. Makanya penting bagi dia menempatkan saksi, baik itu mewakili partai atau pencalonannya sebagai caleg. Saksi di TPS dapat menjadi pengawas atas kecurangan atau kejanggalan yang terjadi selama proses pemungutan dan penghitungan suara.

ā€œSaksi harus benar-benar kompeten. Diperlukan keseriusan dari teman-teman saksi untuk menjaga agar segala hal berjalan dengan maksimal,ā€ ungkap Hamar.

Pejabat partai ini sudah mengidentifikasi kebutuhan saksi pada 836 TPS di Kabupaten Mamuju. Hamar mengaku saksi dari partai saja baru mencapai sebaran pada 200 TPS atau 23 persen dari kebutuhannya. Dia juga berencana berkoordinasi atau bekerjasama dengan partai lain untuk menyebarkan saksi dan kader-kadernya di seluruh TPS.

Koordinasi ini penting mengingat ada biaya yang harus partai dan caleg keluarkan. Mereka harus membiayai para saksi. Hamar mengaku dirinya sudah menyiapkan dana 100 juta rupiah untukĀ  operasional saksi dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan dana itu mengacu pada pembiayaan saksi yang berkisar antara 300 hingga 500 ribu rupiah per orang.

Hingga satu bulan jelang pelaksanaan pemilu, Hamar baru mendapatkan dana setidaknya 40 juta rupiah dari kantong pribadinya. Sebagian dana itu sudah dia gunakan untuk kampanye pada periode 28 November 2023 hingga 7 Januari 2024.

ā€œSelebihnya menunggu dari relasi. Tapi kalau tidak ada, kita maksimalkan dana pribadi. Kalau dari teman-teman bukan sumbangan murni, tapi lebih ke pinjaman barangkali,ā€ terangnya tanpa mau merinci bagaimana caranya menutupi kebutuhan dana untuk saksi di TPS nanti.

Ketiadaan modal atau biaya bagi saksi ini bisa jadi pintu masuk terjadinya kecurangan.

ā€œKarena yang akan di lapangan itu ya saksi. Saksi yang bisa bermanuver di lapangan juga jika ada indikasi pelanggaran,ā€ ungkap Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kabupaten Mamuju, Siti Suraidah Suhardi.

Mengikuti kontestasi politik sejak 2009, Suraidah memaksimalkan peran atau kehadiran saksi dari partai. Dia tidak menggunakan saksi pribadi dan lebih mempercayakan sepenuhnya proses pengawasan selama pemungutan dan hitung suara di TPS pada saksi dari partai.

Perempuan yang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Barat ini mengungkapkan, partainya bakal memberikan pelatihan bagi saksi dari partainya. Dia juga berencana mendatangkan Koordinator Badan Saksi Nasional Partai Demokrat, Andi Timo Pangerang ke wilayahnya.

ā€œIni penting, karena percuma kita kampanye kalau saksi kita lemah. Sementara kita tahu legal standing-nya untuk mengawal suara, saksi harus kuat,ā€ kata Suraidah sembari menambahkan perekrutan saksi untuk tingkat kabupaten sudah terpenuhi sejak akhir 2023 lalu.

Soal biaya operasional saksi, Suraidah mengaku sangat terbantu oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat. ā€œ(Dana) Dari DPP, sekitar 86 juta rupiah. Uang saksi per TPS 300 ribu rupiah. Itu sudah satu paket baik dari Caleg Pusat, Provinsi dan Kabupaten,ā€ imbuhnya.

Sejak masa kampanye dimulai pada 27 November 2023, Suraidah mengaku, dirinya sudah mengeluarkan dana hingga 300 juta rupiah hingga 17 Januari 2024. Mayoritas untuk kebutuhan pembelian dan pemasangan alat peraga kampanye serta kegiatan operasional.

Sementara dana kampanye para caleg di partainya yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mamuju baru mencapai 50 juta rupiah.

ā€œMemang politik itu mahal. Sehingga memang butuh perjuangan. Dan perjuangan itu salah satunya dengan merogoh kocek yang dalam. Saya memang mempersiapkan khusus untuk itu (kampanye) menabung dari gaji selama menjadi anggota legislatif. Jadi saat kita dilantik sudah harus mempersiapkan (menabung) supaya tidak kelabakan,ā€ ujar Suraidah.

Krusialnya peran saksi juga diungkapkan Iswar, satu dari 24 calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau senator dari Provinsi Sulawesi Barat. ā€œKalau tidak ada saksi, saya pikir kita akan buta soal informasi dan kejadian seperti apa di TPS, selain persoalan mengawal suara, juga kita perlu tahu seperti apa kejadian di TPS,ā€ ungkap Iswar yang tidak dapat mengandalkan bantuan partai politik dalam membiayai saksi.

Meski harus mengupayakan sendiri saksi, Iswar mengklaim dirinya sudah merekrut setidaknya 80 persen dari total kebutuhan saksi di Kabupaten Mamuju yang memiliki 836 TPS. Jumlah ini masih sangat jauh dari 3.800-an TPS di Provinsi Sulawesi Barat. Karena pemilihan calon anggota DPD memang digelar di seluruh TPS di provinsi yang bersangkutan.

ā€œSaksi kita persiapkan. Mudah-mudahan terpenuhi semua di TPS. Kalau saya punya saksi, satu TPS satu saksi. Di internal saya, sebagai pengawalan suara anggota DPD RI, kita sudah bekali mereka sesuai dengan petunjuk teknis yang ada di KPU,ā€ kata Iswar.

Untuk kebutuhan saksi pada 836 TPS di Mamuju, Iswar menyiapkan anggaran hingga 125 juta rupiah. ā€œSaya siapkan per saksi 150 ribu rupiah,ā€ terangnya.

Berdasarkan Laporan Awal Dana Kampanyenya (LADK) peserta Pemilu yang dirilis KPU Sulbar beberapa waktu lalu, Pria yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pertukangan Nasional Sulawesi Barat ini, sudah menghabiskan biaya hingga 202 juta rupiah untuk kampanyenya. Dana tersebut berasal dari kantong pribadinya.

Tanggungjawab Penyelenggara

Penyelenggara pemilu perlu mengantisipasi beragam potensi kecurangan tersebut. Beragam celah harus bisa ditutup.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mamuju, Sudirman Samual mengungkapkan, pihaknya berupaya meningkatkan kualitas KPPS. Salah satunya dengan menambah jumlah petugas KPPS yang akan mendapatkan pelatihan teknis untuk proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Mulanya, KPU hanya mewajibkan tiga dari tujuh anggota KPPS guna mengikuti pelatihan teknis. Saat ini, seluruh anggota KPPS wajib mengikutinya.

KPU juga membekali seluruh anggota KPPS dengan panduan teknis yang dapat dibaca. Panduan itu mulai melingkupi seluruh tahapan tugas KPPS, mulai dari proses pemungutan, perhitungan sampai dengan rekapitulasi suara.

ā€œKita menginginkan Pemilu kali ini berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Kami menghimbau kepada seluruh penyelenggara Adhoc untuk mengikuti norma-norma yang ada. Tidak menghalang-halangi atau melakukan sesuatu yang tidak diatur,ā€ terang Sudirman.

Dia juga mengimbau seluruh KPPS transparan dalam menjalankan tugasnya. Misalnya, tambah dia, menyerahkan salinan DPT dan DPT tambahan ke saksi sebelum pemungutan suara dimulai. Para saksi itu juga harus menyerahkan surat mandat dari partai politik atau peserta pemilu kepada KPPS sebelum hari pencoblosan.

ā€œKalau hari H juga boleh. Tapi sebaiknya lebih cepat karena ada aplikasi SIREKAP untuk penginputan data-data saksi,ā€ terangnya.

Aplikasi SIREKAP merujuk pada piranti lunak untuk mendokumentasikan formulir hasil penghitungan suara di TPS. Setelah didokumentasikan, hasil hitungan raihan suara di TPS itu akan dikirimkan ke jenjang yang lebih tinggi, misal dari TPS ke tingkat kecamatan, sebelum ke tingkat kabupaten atau kota, hingga nantinya ke provinsi, dan KPU Pusat. Yang memiliki kode akses ke SIREKAP adalah ketua KPPS.

Lantas bagaimana peran pengawas pemilu?

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Mamuju, Rusdin telah memetakan beberapa TPS yang dianggap rawan terjadi kecurangan. Selain itu, pihaknya juga mengupayakan perekrutan pengawas TPS dengan lebih ketat.

Kehadiran pengawas yang kompeten, sambung Rusdin, jadi kunci mitigasi risiko kecurangan. Dia juga berharap, para peserta pemilu mengerahkan saksi di masing-masing TPS.

ā€œKita hanya punya satu pengawas di satu TPS, tentu ada hal-hal yang pasti akan terlewatkan sebagai manusia biasa. Jadi saksi ini punya peran besar untuk mencegah terjadinya kecurangan dan mengantisipasi hal-hal yang lalai di TPS. Itu harapan kita sebenarnya untuk partai agar semua memenuhi saksi di (semua) TPS,ā€ imbuhnya.

Semua persiapan itu niscaya bakal sia-sia jika memang ada kesepakatan untuk memenangkan peserta tertentu. Peserta yang sudah mengeluarkan modal tentu berharap bisa mendapat keuntungan. Pada sisi lain, kehadiran saksi dengan bayaran seadanya potensial untuk digoda. Semoga saja penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil dapat menjadi kenyataan. Semuanya bermula dari TPS. (*)

Bagikan