

HAIRIL AMRI
Dewan pertimbangan Organisasi
IPMAJU JOGJAJAKARTA
Pancasila yang secara genealogis – terlahir sebagai suatu hostorico – political gentlement agreement, yang dimana nilai – nilai universal dari leluhur nusantara terakumulasikan dalam pancasila inilah yang membuatnya bermakna bagi nation – state Indonesia dan karena itu, patut menjadi basis atau fundamental dari sistem hukum Indonesia untuk menuju harmonisasi nilai dalam setiap perundang – undangan. Sebagai suatu nilai yang Ir. Soekarno sendiri mengatakan sebagai nilai luhur nusantara; kalimat itulah yang kemudian secara tidak langsung menunjukkan bahwa ideologi pancasila merekat dan melekat secara substansial dalam jiwa bangsa Indonesia.
Jika dipandang dalam basis epistemic hans kelsen yang cendrung positivistik, inilah yang dimaksud grundnorm (norma dasar) oleh hans kelsen, Jika dipandang dalam basis epistemic Radburch inilah finalitas keadilan hukum, sebab pengaktualan perundang – undangan berangkat dari nilai luhur yang secara substansial melekat pada masyarakat dan sangat melampauhi hukum kodratnya thomas aquinas serta sangat senafas dengan volkgeistnya von savigny.
Pancasila sebagai leit star (Ir. Soekarno) bintang penuntun arah bagi rumah kebangsaan, seharusnya mampu menuntun arah gerak politik hukum dan memicu terciptanya budaya hukum yang berkepribadian asli Indonesia. Untuk itu jelas dalam prambule konstitusi kita (termatub didalamnya tujuan berdirinya NKRI) sebagai dasar dari pada pancasila formiil yang kemudian butir – butir pasal UUD 1945 sebagai penjelas pengimplementasian dari pada pancasila sebagai ideologi yang selanjutnya akan menjadi rujukan nilai yang sangat layak untuk dijadikan acuan harmonisasi peraturan perundang – undangan kita.
Hari ini dalam Undang – undang atau peraturan daerah; tinjauan hukum positif sangat kontradiktif dengan semangat dalam prambule UUD 1945 yang secara tidak langsung kontradiktif juga dengan ideologi pancasila. Dalam tinjauan hukum tidak tertulis sudah jelas bahwa norma dasar (hukum) tumbuh dan berkembang dimasyarakat, namun seandainya tidak berkesesuaian dengan implementasi dari aturan sudah sangat menyalahi kaidah dan harmonisasi antara nilai – nilainya.
Membangun basis epistemologi Pancasila sebagai norma hukum untuk menuju pancasila formiil
Sila pertama merupakan jalan gotong royong antara semua kelompok agama/kepercayaan untuk sama – sama memperhatikan kemuliaan ilahi (transenden/metafisis) yakni dalam rumah bangsa semua untuk semua sekiranya kita melakukan yang benar, yang baik, dan yang luhur dalam rumah kebangsaan ini.
Sila kedua adalah jalan gotong royong antara sesama manusia (atas dasar spirit muliah sila pertama) untuk menegakkan kemanusiaan, keadaban, dan keadilan dalam rumah Indonesia. Martabat manusia dihormati, cara – cara hidup beradab dikedepankan, kebiadaban dan perilaku barbar hewani dijauhi, serta mampu berlaku adil menurut prinsip – prinsip keadilan. Orang – orang indonesia yang mengaku ber – Tuhan harus mampu menegakkan kemanusiaan, keadabaan, dan keadilan.
Sila ketiga adalah jalan gotong royong antara sesama anak bangsa (atas dasar spirit mulia sila pertama dan imperatif normatif sila kedua) untuk menjaga persatuan dalam rumah kebangsaan Indonesia.
Sila keempat adalah jalan gotong royong untuk semua penyelenggara negara (atas dasar spirit mulia sila pertama, keharusan normatif sila kedua, dan semangat persatuan sila ketiga) untuk bersama – sama (secara hikmat – bijaksana dan musyawarah – mufakat) mengelola negara untuk melayani kepentingan rakyat sebagai pemilik rumah kebangsaan indonesia.
Sila kelima adalah jalan gotong royong antara sesama warga masyarakat: kaya dan miskin, kuat dan lemah, (atas dasar spirit mulia sila pertama, keharusan normatif sila kedua, semangat persatuan sila ketiga dan misi luhur sila keempat) untuk saling menjaga, berbagi, dan saling menata merealisasikan/mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang menghuni rumah kebangsaan Indonesia.
Landasan dari semua jalan gotong royong tersebut adalah semangat menyelenggarakan segala yang benar, baik dan adil semangat itulah yang berfungsi sebagai acuan moral bagi sila – sila yang lain; kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan dan keadilan. Hal tersebut penting untuk ditekankan bahwa realisasi spirit tersebut sebagai etika sosial masih sangat minim dikalangan warga atau masyarakat bahkan sampai pada elit politik dinegeri ini. Elit – elit kita dengan mudahnya menggunakan cara – cara premanisme dalam politik, semisal; partai – partai yang kalah dalam pemilu dengan berbagai cara yang jauh dari spirit ideologi pancasila bersekongkol dalam barisan para pecundang merampas hak – hak partai pemenang di parlemen, mereka seolah buta padahal sebagian besar dari mereka bertitel yang menandakan civitas akademika, semisal dalam proses pemilihan umum sebahagian partai politik berafiliasi dengan partai politik yang dalam dan menyamakan frekuensi untuk menentukan prefensi pilihan politik pada pihak/partai yang dianggap kredibel di satu sisi, dan sekaligus momen penghakiman terhadap pihak/partai yang dianggap tidak becus melayani rakyat disisi lain.
Dilihat dari sudut pandang ini menjadi tidak logis dan tidak etis jika pihak partai politik yang dihukum oleh rakyat (sehingga kalah dalam pemilu) lalu bersekutu untuk merampas mahkota dari sang pemenang, padahal sangat jelas perkataan ir.soekarno; di alam demokrasi indonesia kita tidak menghendaki sistem mayorokrasi dan minorokrasi (mayoritas dan minoritas dengan metode konsensus; dalam Undang – Undang No 10 tahun 2016 tentang pemilu) gamblang perbedaanya antara rujukan primer bangsa (kehendak founding state dan semangat kemerdekaan) dan sistem yang teraktual hari ini, inilah yang kemudian perlu kita dudukkan kembali dan merekonstruksi pahaman Demokrasi ala indonesia sebagaimana kata Bung Hatta demokrasi Kita; demokrasi dari rakyat untuk rakyat dan kembali ke rakyat, berhidmat terhadap pemimpin bangsa, bijaksana terhadap masyarakat yang dia pimpin, dan musyawarah untuk mencapai mufakat; melibatkan semua gologan atau element masyarakat yang tumpuhanya pada “syara” yang berprinsip egaliter serta berkesesuaian dengan asas equality be for the law.
Penting kira nya untuk membangun basis epistemologi sebagai upaya penyadaran pencapaian teoritis sehingga dalam praktis pun kita capai sebagai determinis dari pikiran manusia, secara umum pengimplementasian pancasila dalam aspek hukum sebenarnya masuk dalam kategori pancasila formiil dapat kita lihat UUD 1945 sebagai rujukan primer hukum indonesia yang didalamnya terdapat butir – butir pancasila dalam prambule UUD 1945 sehingga pasal – pasal didalam konstitusi kita tidak bisa menabrak norma – norma pancasila yang sudah dimasukkan dalam prambule UUD 1945. Itu menjadi contoh sederhana pengaplikasian pancasila sebagai norma yang bergerak menjadi pancasila formiil.
Reformasi penegakan hukum dengan pendekatan budaya hukum pancasila demi keadilan
Reformasi menunjuk pada satu perbuatan radikal perbaikan dalam suatu entitas sosial, yang meliputi sosial politik, hukum, dan sebagainya. Reformasi penegakan hukum disini perlu ada perubahan dalam penegakan huum dinegara kita dengan pendekatan budaya hukum yang merupakan pelaksanaan mudul hukum responsif. Karena selama ini penegakan hukum dindonesia cerndrung otonom bahkan represif dengan berbasis pada budaya hukum pancasila yang telah menjadi sistem nilai luhur bangsa.
Negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar didalam sebuah masyarakat. Negara bukan saja berhak mengeluarkan undang – undang yang bersifal imperatif bagi warganya, tetapi juga berhak menggunakan kekerasan kalau para warga tidak mau mematuhi peraturan yang dibuat negara. Negara bahkan berhak mencabut nyawa warganya melalui eksekusi hukuman mati, bila warga dianggap telah melakukan pelanggara serius terhadap negara yang dianggap mewakili kepentingan umum yang dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan – kepentingan pribadi atau kelompok yang berada didalam kekuasaanya.
Menurut philip zhelnick, fase – fase perkembang penegakan hukum adalah; Tahap primitif/ peyebaran, hukum sudah mulai ditebus dan diusik dari isolasinya dari perspektif ideologis yakni dengan menengahkan pembenaran – pembenaran sosiaologis yang bersifat dasar dan umum kedalam study tentang hukum, Tahap keterampilan sosiologis, tindakan yang bersifat sosiologis tidak hanya upaya demonstrasi dan teoritis tapi sudah mulai masuk kedalam penjajakan dan penelitian – penelitian secara mendalam dengan metode – metode sosiologis, Tahap otonomi dan kematangan intelektual, para ahli kembali berbicara tentang teori – teori sosiologis tetapi pada tingkat yag sangat mendalam. inilah yang kemudian menurut hemat saya sangat urgen mengapa kita harus kembalikan pancasila formiil sebagai basis norma hukum kita sebab pancasila juga tumbuh dalam masyarakat Indonesia
Di Indonesia seharusnya lebih mengutamakan penegakan hukum responsif, karena hal itu juga berkaitan dengan type dasar dari kekuasaan yang sah dari max webber yaitu masing – masing atas dasar; Kharismatis yang bertumpu pada kesetiaan yang menunjol dari seseorang dan tatanan yang di keluarkanya, Tradisonal didasarkan pada kepercayaan yang telah mapan dan melembaga turun menurun, termasuk kepercayaan kepada legitimasi dari mereka yang menjalankan atas dasar tradisi itu, Rasional yang bertempu pada kesahihan pola – pola dari kaidah normatif dan terhadap dari mereka yang memiliki otoritas, yang muncul dari kaidah – kaidah tersebut yang mengeluarkan periintah.
Indonesia yang merdeka sejak tahun 1945 sudah memilih untuk berdaulat secara hukum dengan sistem hukum, sebagai negara hukum, dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara harus di pedomani atau dilandasi dengan hukum. Oleh sebab itu untuk mewujudkan cita negara hukum tersebut, diperlukan usaha untuk membangun hukum nasional yang berjiwa kepribadian indonesia, yaitu hukum yang dibangun dari proses penggalian, penemuan dan pengembangan yang bersumber dari nilai – nilai kehidupan budaya, serta jiwa rakyat/bangsa (volkgeist) indonesia.
Pembangunan hukum berasaskan pada volkgeist Indonesia sangat diperlukan untuk menciptakan hukum yang berkepribadian bangsa Indonesia. Karena selama ini Indonesia dalam berhukum menerapkan pluralisme hukum, yaitu; hukum adat, hukum islama, civil law, dan common law. Dengan pluralisme hukum tersebut menyebabkan kesulitan dalam berhukum. Kerumitan dalam berhukum tersbut akan timbul manakala antara hukum yang satu dengan hukum yang lain saling bertentangan/berbenturan. Guna mengakhiri perbenturan dan pertentangan yang diakibatkan pluralisme dibidang hukum tersebut perlu segera diadakan pembangunan hukum nasional. Yaitu pembangunan hukum yang dilandasi oleh dasar falsafah dan ideologi pancasila. (*)

Comment