*Oleh :Â Muh. Suyuti
Pimpinan Kota FPPI Mamuju
Krisis agraria di Indonesia tentu tak mampu dijawab oleh reforma agraria ala Jokowi JK yang melenceng dari reforma agraria sejati. Dalam UUPA 1960 dan Tap MPR No.IX/2001, sedikitnya terdapat beberapa prinsip pokok dalam reforma agraria sejati.
Antara lain; Pertama, orientasi reforma agraria harus menata ulang pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani kecil, penggarap, buruh tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan golongan ekonomi lemah lainnya.
Semua golongan itulah menjadi prioritas penerima manfaat (subjek reforma agraria). Dengan demikian terjadinya perombakan ketimpangan dan monopoli terhadap sumber-sumber agraria untuk mewujudkan keadilan sosial.
Kedua, redistribusi tanah harus disertai program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, teknologi dan sebagainya.
Ketiga, objek reforma agraria harus menyasar tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki secara monopolistik di semua sektor; kehutanan, perkebunan, pesisir, pertambangan, hingga pulau-pulau kecil.
Keempat, kelembagaan pelaksana reforma agraria harus kuat, berada langsung dibawah Presiden, multi sektor dan otoritas yang kuat, dengan keputusan yang mengikat.
Keenam, terlibatnya organisasi tani dan organisasi rakyat lain secara aktif dalam kelembagaan dan proses implementasi reforma agraria; sejak awal perencanaan, hingga evaluasi, masyarakat harus berperan besar menentukan arah dan tujuan dari implementasi
Lahirnya sebuah problem-problem sosial di wilayah Sulawesi Barat khususnya di sektor pertanian, perkebunan, nelayan itu tidak terlepas dari penafsiran keliru atas UUPA tahun 1960 yang peruntukan lahan itu bukan untuk kepentingan petani penggarap namun kepentingan para coorporation asing demi kebutuhan ekonomi dunia salah satu persoalan yang sering terjadi di wilayah Sulawesi Barat adalah konflik petani dengan perusahaan sawit baik itu penyerobotan lahan ataupun pembelian harga Tandan buah Segar (TBS), itu dari sektor perkebunan sawit belum lagi kita bicara soal masyarakat pesisir yang hari ini terampas haknya akibat pembangunan infrastruktur di sekitaran pesisir pantai seperti reklamasi, arteri serta PLTU yang ada di Talaba.
Mengenai momen hari tani ini yg jatuh pada tgl 24 September 2016 kemarin saya berharap pemerintah Provinsi Sulawesi Barat atau instansi yg terkait agar segera mengevaluasi kebijakan yang tidak relevan dengan kebutuhan petani hari ini. (*)