Foto Muh. Farrel Islam. (Ist.)

Oleh: *Muh. Farrel Islam

banner 728x90

(Mahasiswa Sejarah, Universitas Negeri Malang)

Setelah kehebohan atas peristiwa penganiayaan terhadap guru belakangan ini, banyak pihak baru berani untuk membuka suara soal sistem pendidikan kita yang sebenarnya berada pada titik terendah dalam upaya pembentukan manusia yang berakhlak mulia sesuai amanah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.

Tentu kasus penganiayaan terhadap guru akhir-akhir ini menjadi pertanyaan besar, mengapa sekolah yang seharusnya menjadi wadah untuk membentuk peradaban manusia yang mulia malah melahirkan manusia yang “kurang beretika”?

Pilihan kata “kurang beretika”, sebenarnya adalah dalam upaya melihat persoalan ini lebih kepada pola pendidikan yang melenceng dari hakikat pendidikan nasional, karena kejadian ini bukanlah kesalahan satu pihak saja. Kasus penganiayaan guru oleh siswa belakangan ini bukanlah kesalahan siswa seluruhnya, juga bukan kesalahan guru, tetapi lebih pada kesalahan pola asuh dan sistem pendidikan kita yang sangat kurang dalam transfer of value, yaitu pemahaman/pewarisan nilai, norma dan etika yang sesuai dengan kepribadian bangsa.

Jika ditarik dalam sejarah, pendidikan formal baru dikenal di Indonesia setelah dicetuskannya politik etis atau politik balas budi yang dipelopori oleh tokoh seperti Van Deventer. Pelaksanaan politik etis melalui program Trias Van Deventer salah satunya adalah memberikan Edukasi melalui pendidikan kepada kalangan Bumiputera, namun dalam perkembangannya, pelaksanaan pendidikan ini justru dimanfaatkan oleh kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja “rendahan” yang cakap tetapi murah, sehingga program edukasi politik etis ini sudah melenceng jauh dari tujuan asalnya dan justru menjadi wadah “pelatihan” bagi tenaga kerja, hal ini juga yang justru melanggengkan “mental inlander” pribumi Indonesia masa itu.

Pola pendidikan masa politik etis tersebut tentu berbeda dengan pendidikan sekarang ini. Negara sudah meregulasi pola pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan dari regulasi ini tentulah sangat mulia, namun sekali lagi, dalam pelaksanaannya justru “roh” Edukasi dari politik etis masih menghantui bangsa Indonesia. Pendidikan kita sekarang ini lebih berorientasi pasar, pelajar dibentuk dan diberikan ilmu pengetahuan/transfer of knowledge hanya untuk menghadapi pasar, dan tidak dibentuk sebagai “inovator”, jauh dari pendidikan moral dan integritas sehingga kita terus terjebak sebagai bangsa kelas bawah, kelas pekerja dan miskin gagasan.

Hal tersebut juga semakin mengerikan saat salah satu pejabat di Kemenristek Dikti menyatakan bahwa perguruan tinggi akan diarahkan untuk mencetak sarjana sesuai dengan kebutuhan Industri, lalu apa bedanya pendidikan kita dengan “Edukasi” ala politik etis jika kita dibentuk untuk pasar saja? Padahal sejak jauh-jauh hari Bung Karno sudah meneriakkan pentingnya “Nation and Character Building” untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dan menghilangkan “mental inlander” dalam kepribadian bangsa sehingga kita bisa survive sebagai sebuah bangsa yang bermental kompetitif.

Jadi, persoalan kekeliruan pola pendidikan ini sebenarnya berkutat pada proses dan output pendidikan yang hanya berorientasi pekerjaan dan pasar. Hal ini menjadikan pendidikan moral yang berujung pada integritas memiliki porsi yang sangat kurang, padahal “roh” pendidikan nasional Indonesia yang sejati terletak pada pendidikan moral, melalui transfer of value, sebagaimana pendidikan itu di definisikan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu lebih menitikberatkan pendidikan kepada “pewarisan nilai/kultur”. Hal ini kemudian akan memunculkan pertanyaan, dimanakah “pewarisan nilai/kultur” itu terjadi? Maka tentu saja dalam keluarga, melalui pendidikan berbasis keluarga, dan inilah yang hilang dalam sistem pendidikan kita selama puluhan tahun.

Pendidikan keluarga ini merupakan pendidikan pertama dan paling utama serta menjadi sistem pendidikan terbaik yang mengutamakan transfer of value dimana puncaknya adalah Integritas dan Moralitas manusia yang seharusnya dibentuk dalam keluarga, kemudian diterapkan dalam masyarakat dan disempurnakan oleh sekolah yang peranannya juga besar, dimana sekolah harus mewujudkan pemahaman atas nilai-nilai yang sudah ditanamkan dalam keluarga dan masyarakat. Sehingga persepsi bahwa anak “diserahkan” sepenuhnya pada sekolah itu adalah kesalahan yang sangat fatal, karena moralitas manusia pertamakali  dibentuk dalam keluarga.

Kembali pada pertanyaan di awal, mengapa sekolah seakan mencetak manusia yang “kurang etika”? Maka sebelum menjawabnya, lihatlah dulu pola pendidikan keluarganya seperti apa, sudahkah anak diajarkan soal moralitas dan nilai-nilai kebaikan?, apakah masyarakat dan lingkungannya sudah memberikan contoh positif? Jika sudah, maka kesalahan sistem pendidikan yang kurang memperhatikan character building sudah berada pada titik klimaks sehingga berimbas pada sistem dan lembaga pendidikan itu sendiri dalam kata lain pendidikan gagal dalam melahirkan manusia yang berakhlak mulia. Namun jika belum, berhentilah menyalahkan anak dan guru sebagai subjek dari pendidikan, karena kesalahan itu ada pada kita semua, pada sistem pendidikan yang berorientasi pasar, pada lingkungan masyarakat dan terutama orang tua yang gagal mengajarkan moralitas dan nilai-nilai kebaikan. (*)

Bagikan