Ahani bersama cucu-cucunya digubuk yang sudah nyaris roboh
Katinting.com, Mamuju – Diusia 60 tahun, Ahani nama lengkapnya , tinggal di Salulampio, Dusun Bone-bone, Desa Bambu Kecamatan Mamuju Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat, menjalani sisa hidup bersama anak dan cucu-cucunya digubuknya yang sudah nyaris roboh, setiap saat ia berharap dan berdo’a mengadahkan tangan agar mendapat bantuan bedah rumah, namun hingga saat ini pintu hati para pemangku kepentingan pejabat daerah masih belum tergugah, dari tingkat desa sampai bupati ataupun gubernur.
Ia mengaku pernah sekali rumahnya difoto oleh pemerintah desa, berharap ada bantuan, namun hingga saat ini itu tidak pernah ada. Gencarnya sejumlah bantuan dan program pemerintah ia tak pernah menikmatinya.
Jangankan berharap bedah rumah, makan saja wanita paruh baya yang disapa Kindo Ani, itu kesulitan. Ia hanya mengandalkan Beras Miskin (Raskin) yang kadang ia beli dari peluh keringatnya bersama cucunya dengan harga 25 ribu. Itu pun jika ia beruntung dapat membelinya yang kadang hanya sekali dalam 3 bulan untuk mampu menikmati Raskin.
‘Gammi’ sisa ampas dari pembuatan minyak kelapa menjadi teman setia untuk makan nasi Kindo Ani bersama cucu-cucunya, sebab tak mau mengemis, cukup ditumbuk dan diberi garam terasa sudah nikmat. Ia tak pernah berharap ada lauk atau pun sayur enak, makan seadanya ia sudah mengucapkan rasa syukur.
Dengan dialek dan bahasa Mamuju, ia sandarkan keyakinannya, percaya tuhan akan selalu memberi rezeki untuk dimakan meski dengan seadanya, “Ya’ manarang lolo ki puang, mala lolo ki’ tau tuo,” tuturnya dalam bahasa Mamuju yang dimaksudkan, kepandaian tuhan untuk selalu memberinya hidup.
Kindo Ani tidak tinggal sendirian di gubuknya, ia memiliki 5 orang anak, 3 telah merantau ke pulau Kalimantan dan dua tinggal bersamanya, satu belum menikah dan kerja serabutan, sedangkan anak perempuannya Jusriani (35) telah menikah tinggal terpisah dengan suaminya, yang hanya sesekali datang untuk menjenguk anak-anaknya berjumlah 9 orang.
Bersama anaknya 2 orang dan cucu-cucunya 9 orang, Kindo Ani sudah merasa bersyukur ada rumah yang sudah reok yang kurang lebih berukuran 5 kali 6 meter ia tinggali, meski terasa sesak untuk menampung 12 orang ia tetap menjalani kisah hidupnya, diatas tanah milik mantunya yang bersedia meminjamkannya.
Miris sekali kehidupan Kindo Ani, kini kondisinya pun sudah sakit-sakitan, bertahan hidup dengan berharap dari uluran tangan kerabat, keluarga dan para anak-anaknya yang sudah memilih jalannya sendiri. Beruntung ada yang iba padanya, untuk memberi penerangan menyambung listrik dari tetangganya, itu pun tidak gratis, ia harus membayar iuran 15 ribu perbulannya.
“Selama ini, kalau tidak ada penghasilan dari saya, ya cuma bisa berharap dan pasrah ke Tuhan,” tutur dengan pilu Kindo Ani.
Anak Kindo Ani ada yang bekerja sebagai buruh kasar dan juga petani, yang penghasilannya tidak menentu, sehingga tidak dapat membantu banyak yang kadang pulang dengan tangan kosong, “nanti lebaran baru ada lagi nakasi orang,” pungkas Kindo Ani.
Kini Kindo Ani dan keluarganya hanya dapat memasrahkan diri, digubuk yang disulam dengan potongan papan, tripleks dan kardus untuk menghalau mata tembus pandang kedalam ruang-ruang pribadinya, mengindari hembusan angin yang menusuk dari lubang-lubang kecil dan celah-celah papan.
Dibawah daun rumbia yang disulam menjadi atap rumah, tampak tak kokoh lagi, telah ditembus cahaya surya, dihempas air dari langit, tak menyurutkan Kindo Ani bersama anak dan cucu-cucunya untuk selalu bertahan hidup dengan seadanya. Sambil tetap berharap ada dermawan yang peduli dan mewujudkan mimpi untuk tinggal ditempat yang lebih layak terpenuhi kebutuhan untuk makan. Ia tak muluk-muluk untuk hidup mewah dan serba ada, hidup nyaman bersama keluarga besarnya dan bayangan pendidikan berkelanjutan untuk cucunya itu sudah cukup. (*)
*Reporter: Ibnu Imat Totori – Edit :Anhar Toribaras