
*Oleh : Hairil Amri

Ketua IKAMA SULBAR Yogyakarta
Hak asasi manusia merupakan hak yang paling dasar dan dilindungi keberadaanya. Bahkan hak asasi merupakan hak yang tidak dapat dihapuskan dan dimusnahkan oleh orang lain. Artinya hak asasi merupakan hak yang melekat pada setiap manusia dan hak ini tidak memandang siapa dia, akan tetapi bagaimana hak asasi menjadi hak keadilan bagi setiap manusia.
Masyarakat khusus penyandang difabel merupakan masyarakat yang di identikan dengan keterbatasan fisik yang membuatnya mengalami keterbatasan aktivitas untuk melakukan kegiatan sehari-hari. eksistensi penyandang difabel hingga saat ini seakan akan mengalami kemuraman. Bagaimana tidak, perusahaan mensyaratkan para pelamarnya agar “sehat jasmani dan rohani” atau “tidak cacat tubuh atau keturunan” bagi calon pekerjanya.
Melihat penjabaran tersebut maka penting kiranya untuk membahas mengenai hak-hak kaum difabel yang sampai saat ini belum memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh hak-hak mereka dalam hal ekonomi. Oleh karena itu tulisan ini akan fokus terhadap hak ekonomi kaum difabel.
Perlindungan UUD 1945 Terhadap Kelompok Difabel
Dalam rangka melakukan pembangunan nasional yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 maka negara diwajibkan untuk meberikan perhatian kepada para difabel dalam memperoleh fasilitas baik itu fasilitas publik maupun fasilitas perekonomian.
Pemikiran untuk meningkatkan kualitas hidup bagi kelompok masyarakat difabel didasarkan atas prinsip kesetaraan (persamaan) kesempatan dan partisipasi dalam berbagai aspek hidup, Sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi kita, para penyandang difabel memiliki hak untuk melanjutkan hidupnya yang salah satunya adalah membutuhkan sumber keuangan untuk melanjutkan hidupnya. Sumber keuangan ini diantaranya didapatkan dari suatu pekerjaan yang dilakukan.
Didalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan bahwa “seluruh warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”, artinya bahwa ada persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa membedakan kondisi fisik. Selain itu pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa, “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Sebagai implementasi nyata dari amanah Undang-Undang Dasar tersebut Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang khusus bagi difabel, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
Perspektif undang – undang
Bahwa sebagaimana disebutkan didalam konsideran UU nomor 8 Tahun 2016 Tentang penyandang disabilitas menyatakan jika Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia.
Terfokus kepada hak ekonomi khususnya hak pekerjaan sebagaimana disebutkan didalam ini, mengenai hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi yang berbunyi sebagai berikut : a) memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa Diskriminasi; b) memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan Penyandang Disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama; c) memperoleh Akomodasi yang Layak dalam pekerjaan; d) tidak diberhentikan karena alasan disabilitas; e) mendapatkan program kembali bekerja; f) penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat; g) memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya; h) memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.
Menakar keberpihakan pemerintah melalui Undang – Undang.
Pemerintah dan perusahaan mempunyai suatu sistem yakni simbiosis mutualisme, yang mana pemerintah Indonesia dan perusahaan sama-sama saling membutuhkan. Adanya perusahan, pengusaha, serta pekerja menciptakan adanya suatu hubungan kerja dan lapangan kerja baru. Berbicara lapangan kerja sebagaimana konstitusi kita pada pasal 27 (2) pemerintah wajib mengarahkan lapangan kerja yang ada untuk mengakomodir para difabel, sehingga tujuan dari pasal dalam konstitusi kita dapat terealisasi.
Pemerintah sendiri sudah mencoba memberikan solusi bahkan dari tahun 1997, dibuktikan dengan adanya UU No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, hanya saja hingga tahun 2015 masalah yang sama belum bisa teratasi. Pada tahun 2016, Undang – Undang No. 4 tahun 1997 kemudian di revisi dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
Ke dua undang – undang tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan, namun diantara butir pasal dalam UU No 8 tahun 2016 pasal 53 ayat (1) dan (2) – lah yang membuat saya tertarik, sebab pasal tersebut mewajibkan penyedia kerja (swasta) memberikan kuota 1% bagi difabel sebagai tenaga kerja, sedangkan instansi pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) seharusnya mempekerjakan penyandang disabilitas sebesar 2%.
Melihat peraturan perundang – perundangan tersebut membawa angin segar untuk para difabel agar segera memperoleh lapangan kerja yang layak dan mendorong kesejahteraan bagi kaum difabel pada umumnya, namun faktanya angka pengangguran difabel belum juga menurun yakni 3,69 % , bisa jadi sebab ketidak tegasan pemerintah dalam membuka ruang kerja bagi difabel. Mengapa saya mengatakan demikian, coba kita cermati undang – undang No. 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas (UUPT) yang didalamnya sama sekali tidak mengakomodir difabel, sementara Undang – undang tersebut sebagai legalitas suatu perusahaan, yang dimana ialah sebagai penyedia lapangan kerja.
Di samping itu, targetan untuk memenuhi target satu persen dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang difabel yang ditujukan pada perusahaan swasta rasannya kecil kemungkinan terwujud, sebab setiap perusahaan diberikan kebebasan mutlak untuk menentukan aturan penerimaan karyawan baru, selain itu banyak perusahaan tidak mengetahui ketentuan yang ada dalam regulasi tentang disabilitas.
Bagi saya setelah menganalisis perbandingan yuridis diatas, perlunya kiranya norma difabel dimasukkan dalam regulasi mengenai perusahan, agar perusahaan sebagai penyedia lapangan kerja dapat mengetahui hak – hak kaum difabel, disamping itu perlu adanya sanksi bagi perusahaan yang tidak membuka lapangan kerja bagi difabel. Jika itu terwujud, berarti keberpihakan pemerintah bagi difabel dalam rangka menjalankan amanah konstitusi benar – benar terwujud.
(*)

Comment