

Oleh : Maenunis Amin (Direktur Logos Research ‘n Consulting)
Setahun lebih berada di luar pemerintahan bersama Koalisi Merah Putih yang dulu mengusung Prabowo-Hatta tak membuat Partai Golkar nyaman. Ketidaknyamanan itu membuat partai berlambang beringin ini berputar haluan.
Cukup mudah dipahami jika Golkar memutuskan berputar haluan politik. Partai beringin lahir bukan sebagai partai oposisi. Doktrin kekuatan Golkar adalah membangun kekuasaan dan tidak memiliki semangat kesejarahan sebagai oposisi.
Meski Abu Rizal Bakrie enggan menyebut Golkar telah keluar dari KMP, akan tetapi, sejumlah agenda politik lebih prioritas dituntaskan.
Dibalut sekian lama konflik internal, Golkar kehilangan performa politiknya khususnya di Sulbar. Dari Pilkada serentak tahap I 2015, Golkar kalah di empat kabupaten di Sulbar.
Rapimnas akhirnya mengakhiri polemik dua kubu. Diawali dengan deklarasi dukungan kepada pemerintahan Jokowi-JK (25/1/2016), dihadapan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan, Golkar lalu memutuskan untuk menggelar Munaslub.
Golkar Munas Atau Musnah?
Pada Pilkada serentak tahap pertama, 9 Desember 2015, Golkar tak bisa memenuhi target yang dipatok. Dari 264 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, Golkar menargetkan bisa menang di 59 % daerah.
Kenyataannya, karena konflik yang terjadi, Golkar hanya mampu menyiapkan jago di 116 daerah, dan meraih 18 persen kemenangan. Padahal pada pilkada periode 2009-2014, Golkar memenangi 54 persen dari daerah yang diikuti.
Konflik Golkar semakin menegaskan varian kepentingan. Isu kebangsaan yang mengutamakan kemaslahan bangsa serta kepentingan maruah Golkar sebagai partai besar, berselancar bersama kepentingan rivalitas serta pengaruh. Dan konflik berkepanjangan ini sudah mengakibatkan social political damage. Golkar sudah mengalami kehancuran tingkat tinggi. Perpecahan terjadi di tingkat elite, fraksi di DPR, sampai kepengurusan di daerah.
Penyebab utama konflik berkepanjangan Golkar sesungguhnya tak jauh dari ego pemimpin kedua kubu. Keduanya merasa pemilik Golkar yang sah. Padahal salah satu partai tertua di Indonesia ini diakui atau tidak, adalah bagian dari asset dan sekaligus liability demokrasi Indonesia. Golkar juga milik kader muda dan konstituennya, yang ingin merasakan perubahan paradigma dalam organisasi kepartaian.
Bila Ical dan Agung masih menginginkan Golkar bersatu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah keduanya legowo, mundur. Selanjutnya, menyerahkan kepemimpinan Golkar pada kaum muda, melalui munas yang demokratis.
Munas gabungan atau munas rekonsiliasi, akan menjadi pilihan terbaik untuk menyelesaikan konflik. Mengutip penuturan Muladi, bila konflik tidak segera diselesaikan, pada pemilu 2019 Golkar akan jadi dinosaurus, pernah berkuasa lalu musnah tak bangkit kembali.
Golkar Menuju Pilgub Sulbar 2017
Konflik internal DPP Golkar cukup mempengaruhi struktur kepengurusan di Sulbar. Anwar Adnan Saleh dilengserkan dari posisi ketua. Meski tidak diakui disebagian besar kader dan pengurus, akan tetapi Muhyina Muin dipaksakan sebagai pengganti ASS oleh kubu Abu Rizal via Nurdin Halid.
Tidak lebih baik dari proses tahapan Pilbup 2017, Golkar tampak masih gamang menentukan sikap institusional sampai jelang tahapan Pilgub Sulbar 2017. Sejumlah kader terbaik seperti H. Hamzah Hapati Hasan (H4) dan Andi Ibrahim Masdar (AIM), memilih diam untuk menentukan sikap politik.
Meski sejumlah kader lain seperti Anggraeni Anwar, Kalma Katta serta Yaumil, tampil bermanuver, akan tetapi kans komposisional ketiganya diprediksi hanya akan fight di posisi Balon Cawagub.
Gencarnya rivalisasi yang diwarnai isu kubu dukungan internal, menjadikan hasil Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar, dipastikan akan ikut mempengaruhi arah dukungan partai, termasuk figur yang akan diusung. Sampai jelang pemilihan di ajang Munaslub Bali, DPD Sulbar masih terbagi dukungan. Sebagian mengikuti Jusuf Kalla-Sahrul Yasin Limpo mendukung Ade Kamaruddin. Sebagian lagi mendukung Setya Novanto dengan dukungan balik layar Luhut Panjaitan.
Arah baru Golkar Sulbar akan lebih dinamis memasuki etafe Musda DPD I. Golkar akan lebih solid dalam melakukan konsolidasi internal sekaligus lebih akuratif dalam menyusun strategi menuju Pilgub 2017. Segmentasi komposisi koalisi juga akan menjadi lebih ketat membawa arus pemilihan pucuk pimpinan beringin Sulbar.
Boleh jadi, Golkar Sulbar akan mengevaluasi kembali langkah partai, termasuk penjaringan ulang kader internal. Hal ini bukan tidak mungkin, sebab menguatnya H4 dan AIM dalam bursa calon ketua DPD I, akan ikut mempengaruhi keputusan partai besar ini.
Hadirnya H4 serta AIM diyakini akan memaksa Golkar untuk lebih melakukan lobi-lobi internal serta mengevaluasi para kader yang selama ini telah lebih dahulu melempar bola. Jika tidak, maka langkah Golkar untuk menjadikan Pilgub 2017, akan kembali gagal sebagaimana Pilbup 2015 lalu.
Jika dipetakan, maka jelang Musda nanti, kubu H4, AIM dan Angraeni yang akan lebih dinamis membangun komunikasi. Kemungkinan koalisi ketiganya juga lebih terbuka, tinggal deal internal apa yang harus mereka susun. Kita tunggu saja, apakah Golkar 2017 masih memberikan kesempatan bagi Golkar untuk kokoh kembali, ataukah akan tumbang sekali lagi. (*)

Comment